Setelah percakapan yang panjang dengan gadis penuh luka, akhirnya Nara memutuskan meninggalkan jembatan, meninggalkan Ananta yang memilih tidur di sana. Entahlah, ia melihat wajah Ananta sangat kelelahan. Dia juga ngilu melihat luka di kubu jari gadis itu. Jarinya koyak, dan penuh nanah.
Tak ingin berlama-lama dengan angin malam, akhirnya Nara berjalan cepat menuju 'rumah'. Ia harap, seminggu ia tak ada di rumah tak membuat masalah yang besar bagi keluarganya. Beberapa kali di perjalanan, Mas-Mas kopian menyapanya, pun bertanya kenapa dia akhir-akhir ini tak kelihatan. Nara hanya tersenyum, tak berniat menjawab.
"Aku pulang," ucapnya sesampainya di depan pintu kontrakan. Ia mengetuk rumah pelan. Tak ada jawaban, tapi pintu yang sudah agak rusak itu langsung terbuka. Nara menggelengkan kepalanya. Kebiasaan Mbak Tina memang tak pernah mengunci pintu ini dengan tali rafianya.
Ia masuk ke dalam rumah dengan mengendap-endap. Matanya melirik kesana kemari, dan betapa leganya ia saat melihat Mbak Tina dan ketiga adiknya tidur lelap di ruang tamu dengan TV yang menyala.
Ia tak pernah seharu ini. Tapi melihat 'keluarga kecilnya' bisa kembali ia lihat dalam keadaan hidup, ia sungguh ingin bersujud kepada Tuhan yang memberinya kesempatan. Di matikannya siaran TV yang sudah berubah menjadi putih, lalu dengan pelan tidur di sisi kiri.
Sebelum ia tidur, ia mengelus rambut adik perempuannya itu, lalu mengusap air matanya yang menetes. "Selamat tidur," ucapnya serak.
Childish Boy.
"NARA BANGUN NARA! NARAAAAAAAAA!" teriakan Bimas berhasil membangunkan Nara yang teler. Ia langsung terduduk, dan terlihat ketiga adiknya yang sudah tersenyum senang.
"Mbak NARA PULAAAAAANG YEEEEEEY!" teriak Liana kegirangan. Anak perempuan ini memeluk lengan Nara dengan erat, sedangkan Doni sudah menangis sesenggukan.
"Nara kemana aja kok hilang. Katanya Nara mati!" tanya Bimas dengan wajah berbinar-binar. Melihat Nara yang hidup membuat Bimas menjadi sangat semangat melontarkan banyak sekali pertanyaan.
"Siapa yang bilang gue mati? inget ya, gue punya nyawa 9," jawab Nara serius. Liana mencibir, "Ih Mbak Nara sombong. Jangan-jangan Mbak Nara ditangkap polisi lagi ya kayak dulu!"
Nara terkekeh. Memang, menghilang selama berminggu-minggu bukan hal yang baru bagi keluarga ini. Dia pernah menghilang selama 3 bulan tanpa kabar karena tertangkap satpol PP. Dia juga pernah hilang karena tenggelam di kali dan hanyut selama berjam-jam. Untung saja dia sekuat baja dan seelastis karet. Jadi, nyawanya tak hilang dari raganya.
"Kalau gue masuk penjara, lo semua makan apa? kan yang cari cuan gue!" cetus Nara terkekeh. Lalu, matanya tertuju ke arah Doni. Salah satu adiknya yang masih berkaca-kaca.
"Doni, mau peluk Mbak?" Nara tersenyum manis, dan sedetik kemudian Doni memeluk Nara dengan erat. Suara tangisnya menggeleger. Tak biasanya anak seceria ini menangis seperti ini.
"Kak Doni kenapa?" tanya Bimas khawatir. Liliana yang tak pernah melihat Doni menangis juga ikut nenangis. "Bang Doni kenapa, hiks," tanya Liana takut.
Doni memukul-mukul dada Nara. "N-nara jahat, hiks. Nara hilang tanpa kabar. Kata mereka Nara mati. Kata Mbak Tina Nara hilang. Tapi Doni yakin Nara masih hidup, hiks. T-tapi kata hati aku, Nara lagi gak baik-baik aja. Doni udah kehilangan orang tua, Doni gak mau kehilangan Nara."
Nara sungguh terkejut mendengar itu. Hatinya menghangat saat Doni meluapkan isi hatinya. Kedua anak lainnya juga memeluk Nara. Mereka akhirnya menangis juga. "Bener Mbak, kita enggak mau Nara hilang. Nara malaikat kita," imbuh Liana yang diangguki oleh Bimas.
"Hahaha, konyol kalian semua," Nara menggosok hidungnya yang terasa panas. "Enggak mungkin lah Mbak ninggalin kalian semua. Mbak kan juga cuma kalian sama Mbak Tina. Kalian itu keluarga, Mbak," ucapnya yang dengan mati-matian ia pertahankan suaranya agar terdengar lucu walau nyatanya suara sudah bergetar menahan tangis haru.
"Waduh, ada yang peluk-pelukan nih," suara Mbak Tina memecah keharuan. Perempuan yang memakai apron itu mendekat kearah adik-adiknya. Ia mengusak anak rambut Nara. "Mbak juga bersyukur Nara. Kamu selamat."
Nara mengangguk. Pasti. Ia pasti selamat. Setidaknya, ia harus selamat untuk keluarganya. Ia akan terus hidup untuk keluarga ini.
Mbak Tina akhirnya ikut memeluk keempat adik ketemu besarnya. Ia sangat menyayangi keempat anak anak itu. Mbak Tina berharap, keempat anak itu akan menjadi anak yang sukses, dan bisa membuatnya berbangga karena telah menjadi manusia yang sedikit berguna dengan melihat mereka mendapatkan gelar terbaik masing-masing.
Semoga saja. Ia memanjatkan doa itu di pelukannya.
Childish Boy
Gala tak tahu, jika dunia tanpa Nara adalah kekosongan dan kepedihan. Sudah seminggu ia tak melihat senyum jengkelnya, mendengar suara marahnya, atau sekedar memandangi rambut kusut gadis cantik itu. Ia termenung di kantin. Setelah kepergian Nara secara tak terduga, semua berubah.
Saat Papa kandung Nara datang ke sekolah dan mengatakan bahwa anaknya hampir dibunuh dan berakhir menghilang, saat Onad menghubunginya dengan tergesa, saat ia tahu ternyata George dalang dari semua ini. Dan saat ini George sedang dirawat secara privat di Rumah Sakit pribadinya.
Ia menekuk wajahnya. Ternyata kemiskinan Nara adalah kebohongan besar. Dia anak kaya raya. Papanya yang wajahnya sangat tampan itu pemilik perusahaan produksi bahan rumah tangga terbesar se asia-rusia. Itu cukup membuatnya terkejut melihat Nara begitu gembel. Ia juga kaget saat tahu bahwa keluarga palsu Nara adalah orang yang gadis itu tolong dan ia nafkahi pula. Ternyata, sisi baik Nara sangat tersembunyi. Tak terlihat. Semua orang hanya melihat sisi buruk gadis itu.
Aih, Gala jadi semakin kangen. Tanpa sadar, tetesan air mata merembes dari pelupuk mata. Ayu, yang duduk di sebelahnya langsung menyadari itu.
"Nangisin Nara lagi?" tanya Ayu, menyodorkan sapu tangan milik Gala yang ia bawa akhir-akhir ini. Bagaimana tidak, cowok itu seminggu ini selalu menangis tak tahu tempat. Tapi jika diberi tissu murah akan semakin nangis dan mengomel.
"Ayu ... Nara kapan ketemunya?" isak Gala. Ayu hanya menghela napas. Sudah beribu-ribu kali pertanyaan itu terlontar dan masuk ke gendang telinga Ayu. Gadis itu sudah muak. Tapi ia harus sabar karena Gala adalah ladang uangnya.
"Sabar ya Gala, Nara pasti selamat kok," jawab Yuta yang makin nempel ke Ayu. Cowok itu mengepalkan tangannya, seolah menyalurkan semangat kepada Gala. Tapi kepalan semangat itu hanya dipandang sinis oleh Gala.
"Gaboleh pasti, tapi harus. Nara harus selamat!"
"Sama aja sih," Ayu menyahut.
"Gak sama! Ih kalian buat perasaan Gala tambah mendung!" omel Gala yang sudah berada di level moodswing teratas. Yuta meringsut ketakutan di belakang Ayu.
"Gak papa, bebek satu itu jangan dihiraukan omongannya," ucap Ayu sambil mengelus-elus rambut Yuta.
Melihat itu, Gala tambah menangis. Sudah rindu Nara, ditambah lagi keiriannya terhadap Yuta yang bisa bermanja-manja dengan kekasihnya. Ia kan juga kepengen.
Ugggh! hiks, awas aja kamu, Nara. Kalau ketemu, akan kupukul kamu seratus kali lalu kucium seribu kali. NARA, COMEBACK!
KAMU SEDANG MEMBACA
Childish Boy: Love Hate
Ficção Adolescente"Nara I Love You, Gala cayang Nara!" "Najis." "Ish, hiks, Nara jahat gak mau sayang sama Gala." "Udah jangan nangis. Love you too." ❤❤❤❤❤❤❤❤ Lugu tapi sok keras adalah sifat Gala. Cowok childish yang berpenampilan aneh nan mewah. Selain lugu dan me...