Papa?

883 86 2
                                    

Awan sore hari, dengan warna oranye dan semilir angin membuat Nara merasa hidup kembali. Dia duduk di jembatan dekat rumahnya, melihat sungai keruh yang tampaknya sudah lebih membaik.

"Gue hilang seminggu aja udah kelihatan banget berubahnya nih tempat, hidup emang secepet itu ya," monolognya. Nara terkekeh. Ia jadi teringat saat awal ia kabur. Masih tolol dan terlalu anak-anak untuk memijak tempat seperti ini.

Kotor, kumuh, penuh kejahatan. Tapi, orang-orangnya baik. Walau sesat, tapi mereka masih punya hati. Mereka juga lucu-lucu. Nara sangat menyayangi tempat ini lebih dari apapun.

Nara jadi teringat, disini pula dia membawa seseorang untuk dikenalkan ke dunia yang ia cintai. Nara mesem-mesem sendiri. Ia ingat betul bagaimana seseorang itu terkejut saat tiba-tiba ia sosor bibirnya.

Gala dan dunianya. Di jembatan ini, cintanya terungkap. Di jembatan ini pula, dia banting egonya untuk satu cowok imut seperti Gala. Dan, Gala lah yang bisa membuat hidupnya semakin rumit. Semenjak Gala datang, ia jadi takut untuk berbuat hal yang lebih nakal. Ia takut kehilangan nyawanya sekarang. Ia takut tak bisa mendengar suara Gala, lagi.

"Cowok itu masih mikirin gue gak, ya? Jangan-jangan udah dapet cowok baru." Memikirkannya saja sudah membuat Nara sakit hati. Tak bisa dibayangkan jika saat ia datang ke sekolah lagi, ia malah melihat Gala bermesraan dengan cewek lain. Siap-siap saja kalau itu terjadi, cewek manapun akan Nara hajar sampai mampus.

"TUHAN! GUE KANGEN GALAAA!"

"Baru sembuh, udah mau bucin lagi. Dasar remaja."

Sahutan suara yang sungguh sangat familiar membuat Nara langsung menoleh ke belakang. Seseorang dengan wajah yang tampan, gagah, dan senyum secerah matahari sore membuat Nara membeku. Lelaki itu maju dengan cepat, lalu meringkuk dan memeluk Nara sangat erat.

"Ternyata kamu masih selamat," ucapnya haru. Nara masih membeku. Ia tak menyangka orang ini akan menemuinya lagi setelah kejadian itu.

"Papa?" sebutnya ketika orang itu melepas pelukannya. Lelaki itu tersenyum. Dia, Wijaya Kusuma Atmaja, manusia dengan segusang prestasi dan kebaikan, yang sialnya adalah lelaki yang mencetak anak seperti Nara.

"Papa ... ngapain kesini?" tanya Nara gelagapan. Dia belum siap bertemu Wijaya, setelah 3 tahun tak bertemu, membuat tembok antara bapak dan anak ini semakin terasa. Wijaya tertawa tipis. "Papa sudah tak mau melihatmu dari kejauhan. Capek, Nak. Kamu gak capek hindarin Papa terus?"

Nara menggeleng. Ia berdiri dan menghindar dari Wijaya. "Pa, mending Papa pulang. Kerjaan Papa kan banyak, nanti Papa dicariin relasi Papa dan kehilangan klien Papa, lagi. Udah sana pergi!" usirnya ketus.

Wijaya pias mendengar hal itu. Ia jadi teringat saat Nara masih kecil. Saat gadis itu masih membutuhkan kasih sayangnya. Dia selalu mengatakan bahwa dia sibuk dan lebih memilih bertemu klien-kliennya, padahal ia hanya beralibi karena dulu, ia masih pisah ranjang dengan Dara, dan dia tak mau bertemu Nara agar jika dia khilaf dia tak melukai sang anak.

Hingga akhirnya ia sadar, ia kehilangan momen untuk dekat dengan anak satu-satunya. Yang ia selalu banggakan diam-diam. Yang selalu ia cintai. Yang selalu ia inginkan untuk bersama. Hingga akhirnya ia sadar, anak yang dulunya sangat membutuhkan kehadirannya, pergi dari rumah. Lalu menganggap kedua orang tuanya sudah mati. Anak satu-satunya, telah membuang Marga kebanggaannya.

Nara. Nara Delima Atmaja. Anak itu sungguh ajaib. Harus ia akui bahwa survive gadis itu untuk memegang prinsipnya sangatlah brutal dan menakjubkan. Bayangkan saja, kemewahan yang sudah di depan mata ditinggalkan begitu saja, dan melanjutkan kehidupan sebagai orang miskin. Itu adalah hal baru di dunia Atmaja. Anak lain mana mau tinggal di rumah kumuh. Gadis lain pasti akan merengek ke Papa untuk tinggal di istana mewah. Tapi Nara beda. Dia membuat Wijaya bangga sekaligus khawatir.

Childish Boy: Love HateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang