1. Secarik Kertas

261 35 5
                                    

Di tengah hamparan sawah hijau itu terdapat jalan setapak kecil yang kini dipijak oleh seorang gadis cantik yang menenteng sebuah rantang di tangan kanannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di tengah hamparan sawah hijau itu terdapat jalan setapak kecil yang kini dipijak oleh seorang gadis cantik yang menenteng sebuah rantang di tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya digunakan untuk sedikit mengangkat roknya agar tak mengenai genangan air dari sisa hujan yang baru saja selesai mengguyur tanah sunda itu.

"TETEEEHH!!!!"

Teriakan yang terasa menggema itu membuat ketiga orang yang sedang meneduh di sebuah saung langsung menoleh ke arah si pemilik suara. Lambai tangan diberikan oleh kedua perempuan yang langsung tersenyum menyambut kedatangan seorang gadis yang mereka tunggu sejak tadi.

"Tah, kabiasaan ari teu make payung. Katingali gerimis kieu. Lamun geuring, kumaha?" celoteh seorang pria paruh baya yang berusia lima puluhan. (Tuh, kebiasaan kalo gak pake payung. Keliatan gerimis. Kalo sakit, gimana?)

"Air hujan, kan, berkah, Abah. Jadi, gak apa-apa atuh kalo hujan-hujanan. Berarti kita mensyukuri rezeki Allah."

"Eh... kalian mah da emang saruana," jawab Acep seraya menggeleng-geleng kecil menanggapi jawaban putrinya. (Kalian mah, kan, emang samanya.)

Bugh!

Suara benturan sepasang kaki dengan tanah terdengar, membuat salah satu di antara ketiganya langsung bergegas menghampiri sosok yang terjatuh itu. "Ya Allah, Neng! Haduh, hati-hati, atuh. Ada yang luka, gak? Bajunya jadi kotor, kan. Kamu mah ngarewaskeun," celoteh wanita paruh baya yang berusia empat puluhan dengan raut cemas. (Ngagetin)

Senyuman malah diberikan sebagai balasan dari celotehan tersebut. "Iya, maafin aku, Ambu. Aku gak apa-apa, kok! Baju kotor mah bisa dicuci."

"Kamu gak apa-apa?" tanya Shafiyah dengan raut tak kalah khawatir dari sang ibu. Pandangannya beralih pada rantang yang kini berserakan di atas tanah. Terlihat nasi, beberapa potong tempe dan tahu, ikan asin dan sambal yang sudah tak berada di tempatnya.

"Astagfirullah hal adzim! Makanannya jadi tumpah! Ya Allah... Ambu, Teteh, maafin aku, ya. A—aku gak hati-hati, jadi— jadinya semuanya tumpah," ucap Seohyun dengan raut bersalah. Ia pun bergegas merapikan makanan yang berserakan di tanah ke dalam rantang dengan isakan kecil di bibirnya. "Maafin aku... Ambu, Teteh."

"Sini, sini. Biar sama Abah aja," ucap Acep yang langsung merebut rantang dari tangan seorang gadis yang sudah ia anggap seperti putrinya sendiri.

"Abah... maafin aku. Makanannya jadi mubazir semua," ucap Seohyun lirih.

"Siapa bilang mubazir? Nanti dikasih ke si Keun-Keun juga pasti dimakan."

"Ken-Ken, Abah. Bukannya Keun-Keun. Meuni katingali pisan urang Sunda na," ucap Shafiyah mengoreksi ucapan sang ayah seraya menggeleng kecil. (Keliatan banget orang Sundanya.)

"Atuh cuma ayam jago aja dinamain nama Jepang segala sama kalian. Ck, meuni gaya eta hayam," celoteh Acep tak habis pikir. (Gaya banget itu ayam.)

Payung Teduh (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang