19. Sebuah Harapan

144 23 3
                                    

Hujan yang turun sejak subuh tak kunjung reda juga, justru semakin deras

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hujan yang turun sejak subuh tak kunjung reda juga, justru semakin deras. Hawa dingin bahkan terasa hingga menusuk tulang, dan rasanya ingin terus berada di atas kasur dan juga di bawah selimut tebal. Namun, aktivitas harus tetap berjalan seperti biasanya. Yap! Berangkat ke sekolah.

Seohyun sudah rapi dengan seragam putih abu-abunya sejak setengah jam yang lalu. Itu artinya sekitar sepuluh menit lagi waktu sebelum jam masuk sekolah. Mungkin pihak sekolah akan memaklumi apabila muridnya datang sedikit terlambat karena hujan deras. Terlebih ia bersama dengan Shafiyah yang juga merupakan salah satu guru.

"Abah kamu mah mulai pikun. Masa jas hujannya gak ketemu juga. Kalian gimana mau berangkatnya kalo gini?" tanya Entin, melangkah menghampiri Seohyun dan Shafiyah yang duduk di sofa ruang tamu. "Fi, jas hujannya gak ada lagi, ya? Itu cuma satu-satunya?"

"Iya, Ambu. Kan, jas hujan satunya itu dipinjem sama Abah. Jadi, ya, gak ada lagi," jawab Shafiyah, melipat kembali jas hujannya yang tak jadi ia kenakan.

"Eum... aku pake payung aja. Nah, Teteh pake jas hujan," ujar Seohyun, melirik Shafiyah dan Entin bergantian.

"Hujannya, kan, deres, Neng. Kalo naik motor tapi pake payung gitu sama aja bohong. Baju kamu nanti berakhir basah," sahut Shafiyah, lalu mengembuskan napas panjang.

"Ya... terus gimana, dong, Teh?" tanya Seohyun bingung, lalu memanyunkan bibir seraya berpikir. "Eum... kalo gitu Teteh aja yang berangkat. Kan, Teteh guru, jadi harus ngajarin temen-temen yang udah berangkat. Aku izin aja kali, ya?"

"Ketinggalan pelajaran lagi, dong?"

Seohyun nyengir seraya menggaruk belakang kepalanya. "Habis bingung."

Drrttt!

Getaran ponsel yang berada di dalam kantong rok sekolahnya, membuat si empunya mengalihkan perhatiannya. Seohyun pun merogoh ponselnya, lalu membaca nama si penelepon yang tak lain adalah sang kakak. "Aa nelepon?" gumamnya, lalu melirik Shafiyah dan Entin, lantas menerima panggilan itu.

"Assalamu'alaikum, Neng."

"Wa'alaikumussalam. Ada apa, A?"

"Kamu udah berangkat sekolah?"

Tanpa sadar Seohyun menggelengkan kepalanya, namun tak lama kemudian ia menghentakan kepalanya pelan. "Eum... belum, A," jawabnya langsung.

"Eum... kalo Fiya, udah?" tanya Haikal dengan suaranya yang berubah pelan seperti berbisik. Seolah khawatir jika si pemilik nama bisa mendengarnya.

Seohyun melirik sekilas ke arah pemilik nama yang disebut oleh kakaknya. "Teh Fiya juga belum berangkat, A. Soalnya jas hujannya cuma ada satu. Satunya lagi belum ketemu, Abah lupa nyimpen di mana."

"Oh...," gumam Haikal paham. "Eum... mau Aa jemput aja? Sebentar lagi bel, kan? Nanti kalian berdua terlambat."

Dahi Seohyun mengernyit bingung mendengar tawaran kakaknya yang membuatnya tak yakin. "Jemput, A? Emangnya Aa mau jemput pake apa? Sepeda?" tanyanya.

Payung Teduh (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang