21

71 8 2
                                    

Kalo enggak ke apartemennya Mas Alfan, mungkin aku gak bakalan tau kalo ternyata dia abis marah besar dan ngerusakkin barang lagi.

Kasian banget yang namanya Aziel. Dia masih kecil, harus ngeliat orang dewasa marah sambil main fisik dan kata-kata kasar. Belom lagi, anak itu gak bisa nonton tv karena tv yang hancur lebur, entah dengan apa Mas Alfan menghancurkannya.

Dengan kedatanganku, Aziel gembira banget. Biasalah, anak kecil kalo dibawain banyak cemilan sama mainan, pasti reaksinya bakalan sama juga.

"Terus, Mas Fian tinggal dimana sekarang?" Aku nanya ke Mas Niko. Diem-diem, tentunya.

"Dia tinggal di kosan Alfan yang lama. Mas yang suruh dia tinggal disitu untuk sementara."

"Emang Mas Fian, berbuat apa lagi?"

"Bisik-bisik apaan sih?" Mas Alfan udah ganti pakaian.

"Mau tau aja."

"Emang gak boleh?"

"Berangkat sekarang yuk...!"

Kita semua naik mobilnya Mas Alfan. Soalnya, kalo berangkat rame-rame gini kan pasti lebih terasa serunya.

"Aziel udah pernah ngeliat jerapah belom?"

Bocah itu geleng. "Pelna liat gambal, lehelnya panjang. Jelapah gigit, kakak?"

"Enggak. Jerapah mah baik. Kalo yang suka gigit itu, kakak yang itu tuh." Aku nunjuk ke Kak Dante. "Kalo marah, giginya berubah panjang dan runcing."

Mata Aziel malah berkaca-kaca. Maksudnya cuma ngebercandain, tapi Kak Dante malah pasang wajah serem.

"Mampir dulu di warung padang deh, mas."

Dari balik kemudi, Mas Niko ngangguk. Emang males Mas Alfan itu. Perasaan kalo pergi-pergian, Mas Niko mulu yang nyetir.

Mas Niko ngebelokkin mobilnya ke warung padang yang bisa dibilang besar dan megah. Soalnya, halaman parkirnya aja luas. Udah gitu, pintu kaca dan jendelanya juga tertutup rapet. Artinya kan, restoran padang itu ber-AC.

"Mas Adit mau pake apa?"

"Apa aja, Driel."

"Ehh, jangan gitu. Kalo dipilihin jengkol emang doyan?"

"Ayam bakar aja."

"Mas, pake duit aku." Kak Dante ngasih uang  ke Mas Niko. Tapi Mas Niko nolak. "Gak papa, mas. Pake aja."

"Aziel mau pake apa?"

"Gak usah, Driel. Aziel sama aku aja."

"Enggak, mas. Nanti kurang gimana?"

"Telol ceplok..!"

"Aku sama ayam bakar, mas." Ujarku. "Tambahin peyek, sama lauk terpisah juga deh. Rendang, ayam bakar, perkedel, gulai nangkanya. Banyakkin bumbu rendangnya."

Mas Alfan ngerebut uang dari tangan Kak Dante. "Kamu apaan, Dan?"

"Alfan..." Mas Niko kayak gak setuju gitu.

"Rendang juga boleh, mas."

"Sama kerupuk jangan lupa ya, mas."

Mas Adit kebanyakkan diem. Mungkin dia ngerasa serba salah dan gak enakkan. Udah dibawa sama Mas Fian, tapi sekarang manusianya malah entah pergi kemana.

Emang dasar ya dia itu. Gak ada jeranya, meski udah digebukkin berkali-kali juga.

Lagi nungguin di mobil, tiba-tiba perhatianku tertuju pada empat anak yang duduk di bawah pohon sambil makan bareng-bareng gitu.

He Never SleepsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang