34

57 7 1
                                    

Kak Dante badannya panas banget. Udah aku suruh ke rumah sakit, dianya gak mau. Masalahnya kan, kalo di rumah sakit, ada yang pasti selalu ngawas dan ngurusin.

Nah, kalo di apartemen, siapa yang mau jagain dia kalo misalnya dia butuh sesuatu...?

Selesai sarapan bubur, dia aku minumin obat. Dari semalem, dia sama sekali gak ngomong apa-apa.

Ya, gimana mau ngomong, kalo dianya aja tidur terus...!?

"Kak, aku sekolah dulu."

Kak Dante ngangguk. Cuma sebelah matanya aja yang kebuka. Itu juga dikit banget ngebukanya.

Gak bisa aku ninggalin orang lagi sakit, sendirian. Kalo misalnya sampai kejadian sesuatu yang buruk, gimana coba?

Sedangkan, aku yang tinggal sekamar sama dia. Pasti nanti aku juga yang bakal direpotin.

Dengan terpaksa, aku cari kontak keluarga di hapenya. Aku nemu tuh nomer hape orang tuanya. Aku coba telepon, sekali dua kali, sampai berkali-kali, tetep aja gak ada yang ngangkat.

Nyambung sih. Tapi, kenapa gak diangkat?

Aku coba cari kontak lainnya. Ternyata, ada tuh satu orang yang sering WA-an sama dia. Namanya Regina. Foto profilenya sih, foto keluarga gitu.

"Pagi, kak. Maaf mengganggu. Aku mau kasih tahu, kalo Kak Dante lagi sakit."

Ada kali nunggu sampai 5 menitan, tapi gak dibales juga WA-nya. Akhirnya aku mutusin buat tetep berangkat ke sekolah.

Yaa, semoga aja Kak Dante gak kenapa-kenapa, sampai aku pulang nanti.

"Selamat pagi..."

Baru juga aku nutup pintu, Pak Rendy udah nyapa. Dia keliatan rapih dan gagah banget, di balik setelan kemeja putih lengan panjang dan celana birunya yang ngepas di kakinya yang jangkung itu.

"Pagi juga, Pak Jaksa."

"Saya ini belum menikah."

"Mungkin, Pak Rendy terlalu pemilih..? Hehehe..."

Di lantai ini, ada sekitar 8 atau 10 unit kamar. Tapi, kenapa bisa pas banget ya, unit yang aku tinggali sama Kak Dante itu, berhadapan persis, sama unitnya Pak Rendy.

"Saya kira, semalam kamu pulang dengan kakakmu."

"Kakak, pak?" Aku bingung dong. "Kak Dante kan lagi sakit, pak."

"Maksudnya, kakak kandungmu. Seno."

"Enggak, pak."

Pak Seno cuma ngajakkin aku makan sate ayam, terus dia nganterin pulang kesini. Gak banyak yang diomongin juga. Karena jujur aja, firasatku terus gak enak waktu pulang bareng sama dia.

"Kamu berangkat naik apa?"

Ting.

Pintu lift terbuka. Aku sama Pak Rendy sama-sama turun. Bau parfumnya menurutku agak aneh dan unik.

"Naik ojol, pak."

Pak Rendy menghentikan langkahnya. Matanya seperti sedang menatap ke arah sesuatu. Aku memperhatikannya. Kepalanya  bergeleng pelan.

Aku ikuti kemana sorot matanya itu tertuju. Rupanya ke arah beberapa orang yang lagi berdiri di dekat kursi tamu lobby.

"Bagaimana kalau saya antar...?"

"Gak usah, pak."

"Tidak apa-apa. Kebetulan juga, sekolahmu satu arah dengan kantor pengadilan."

"Mmm..."

He Never SleepsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang