1

749 41 4
                                    

Arkan...

Dua pria itu sedang duduk di depan kolam renang, dengan tatapan sedih dan lesu. Persis seperti langit pekat, dan awan mendung bergulung-gulung, yang terus memayungi langit Kota Batu, sejak 2 minggu terakhir.

"Kamu yakin, akan menjual penginapan ini?" tanya si pria berkacamata, sambil memegang tangan pria satunya. "Aku paham, kalau kita ada hutang yang harus dilunasi. Tapi penginapan ini..."

"Dengan menjual penginapan ini.." pria berkulit putih pucat itu menghela nafas. "Hanya dengan cara ini, aku bisa menuntaskan dua masalah bersamaan." Tak terasa, sebulir air mata jatuh membasahi pipinya. "Aku bisa melupakan Arkan, dan aku bisa melunasi semua hutang-hutang.."

"Dipta, tolong..." Pria berkacamata itu sampai harus berlutut di depan pria yang sudah menemaninya selama 10 tahun lebih itu. "Kamu harus ingat apa yang dikatakan Arkan untuk terakhir kalinya."

Bibir Dipta bergetar. Kali ini, air matanya tak bisa dia bendung lagi. Rasa sedih dan sakit, akibat kehilangan satu-satunya anak yang ia miliki, seolah merenggut semua kehidupannya.

"Apapun yang terjadi, penginapan ini tidak boleh dijual. Karena disinilah, kita semua bisa berkumpul kembali.."

"Berkumpul, katamu Daf...?" Dipta tersenyum sinis. "Anakku itu sudah meninggal! Dia sama sekali tidak pernah mengerti dan paham, bagaimana selama ini aku terus berjuang demi kesembuhannya!"

"Kamu gak boleh bicara seperti itu, Dipta.."

"Lantas..." Dipta menatap lekat pada Dafin. "Apa kamu masih punya simpanan uang? Atau kamu punya cara, bagaimana kita bisa melunasi semua hutang?!"

"Pasti selalu ada cara, Dipta!"

"Kamu, akan memaksaku lagi untuk sholat dan berdoa? Pada Dia yang tidak pernah mengabulkan doa dan permohonanku, walau aku hanya meminta satu hal saja...?!"

"Istighfar, Dipta."

"Kamu pikir, dengan istighfar, bisa menghidupkan kembali Arkan?! Iya..?! Bisa menurunkan uang begitu saja dari atas langit sana...?!"

Dafin tak bisa menjawab. Dia tahu betul, saat ini Dipta sedang sangat emosi. Dan kalau sudah emosi seperti ini, pasti bicaranya akan melantur kemana-mana.

Dipta mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Sebuah botol bening kecil, yang dia pikir semua masalahnya akan selesai, bila dia meminum isi dari cairan dalam botol beling itu.

"Dipta!" Dafin berusaha merebut botol kecil itu. Dia tak mau, sampai harus kehilangan seseorang yang amat dicintainya itu. Apalagi, dengan cara yang sangat konyol.

"Biarkan aku mati!! Karena aku akan menyusul dan berkumpul kembali dengan anakku!"

Dengan sekuat tenaga, Dafin merebut botol itu, kemudian melemparnya sejauh mungkin.

"Kamu jangan gila, Dipta! Istighfar! Setiap masalah, pasti akan selalu ada jalan keluarnya...!"

Dipta terduduk, dengan wajah pucat dan tatapan matanya yang kosong.

"Jangan buat Arkan makin sedih lagi... Tolonglah..."

"Om..."

He Never SleepsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang