24

87 9 4
                                    

Pagi-pagi, aku, Rafael, sama Michele, udah ngadain rapat dadakkan di kantin. Apalagi kalo bukan ngebahas masalah si Prince yang maju jadi perwakilan kelas buat pencalonan Ketua OSIS.

"Lagian kamu bodoh banget sih, Driel..!"

Kok Michele malah nyalahin aku...?

"Kamu kan yang dikenal banyak orang. Apalagi VT kamu seliweran di tiktok. Kenapa gak kamu aja yang maju?!"

"Aku setuju sama Michele! Daripada si Prince yang berwajah asem itu, jauhhh mendingan kamu!"

"Terus aku bisa apa? Pertama, aku gak punya program apa-apa. Kedua, kalian tau kan agamaku apa? Dan ketiga, aku ini lagi deket sama Kak Dante. Masa iya, aku mau saingan sama dia?"

"Pak Robin nyuruh kita buat bantu dan dukung Prince. Lah, dianya sendiri aja gak pernah ngomong apa-apa sama kita." Mau Prince tiba-tiba bersujud di kaki Michele, kayaknya Michele tetep gak bakalan dukung si Prince.

"Udah gitu, kenapa mesti kamu yang jadi ketua tim suksesnya?" Rafael berapi-api. "Kenapa bukan si Nathan aja?"

"Pagi..."

Panjang umur banget. Lagi diomongin, tiba-tiba muncul itu mereka.

"Boleh gabung?" tanya Nathan.

"Boleh aja. Tapi, kan masih banyak meja lain yang kosong." Tukas Michele.

Aku pikir Nathan sama Prince, bakalan kesindir dan pergi. Tapi mereka tetep duduk semeja dengan kita bertiga.

"Buat program OSIS..."

"Oh ya Driel, untuk program OSIS nya gimana?"

"Errnggg, aku sih --- yaa, tergantung sama Prince."

"Aku sama Prince juga udah nyusun beberapa poin penting." Nathan ngasih liat hapenya. "Kamu bisa baca dulu. Atau, aku kirim ke WA aja?"

"Boleh aku baca dulu."

Yang maju dalam bursa pencalonan itu kan si Prince. Tapi yang banyak bicara malah Nathan. Heran, Pak Robin kok iya bisa milih si Prince sih..?

"Mmm, bagus juga."

"Kalo misalnya ada yang kurang, kamu bisa langsung rubah, Driel."

"Semuanya sih udah oke, menurutku."

"Btw, kamu tinggal di apartemen juga?"

"Enggak, Nat. Aku kesitu lagi main aja ke unitnya Mas Alfan."

"Aku kira, kita tinggal di apartemen yang sama."

"Apartemen itu kan terlalu mahal. Lagian, aku mana punya uang...?"

"Adriel pinter banget sandiwaranya."

"Iya. Besok-besok, jangan-jangan dia udah main film lagi.."

Entahlah, apa maksud kedua temenku itu berbisik-bisik, tapi dengan suara yang masih bisa kedengeran jelas di telingaku.

"Kalo cowok yang itu..."

"Cowok..."

Michele sontak nunjuk aku dengan mata melotot. "Kamu jalan sama cowok lain, Driel..?!"

"Mas Fian. Dia itu adeknya Mas Alfan."

"Yang waktu itu buat heboh?!" Rafael juga ikutan melotot.

"Kok kamu bisa jalan berdua sama dia?"

"Aku gak jalan berdua sama dia, Michele. Aku cuma ngejemput Mas Fian dari kosan yang lama."

Untungnya bel masuk udah berbunyi. Jadi kita udahan, dan buru-buru masuk ke kelas. Coba kalo gak ada bel, udah pasti ini mah obrolannya makin ngelantur kemana-mana.

He Never SleepsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang