22

78 9 1
                                    

Kak Dante dapet telepon dari temennya. Entah temen mana yang dia maksud. Temen nongkrongkah, temen basketkah, atau temen OSIS. Tadinya dia gak mau tuh, waktu diminta dateng sama temennya itu. Tapi aku paksa aja dia. Sambil aku bilang, nanti malem jemput aku lagi di apartemennya Mas Alfan, sekalian ambil mobilnya. Yaudah, dia semangat. Soalnya kan, aku minggu ini jadi sama sekali gak nginep di apartemennya Mas Alfan.

Pulang dari panti, kita langsung ke mall. Bener kan kataku juga, Aziel pasti langsung sedih, begitu tau kita gak jadi ke Ragunan.

Tapi untungnya, anak itu balik lagi ceria begitu aku ajakkin dia ke toko mainan yang ada di mall.

Semuanya dia tunjuk-tunjuk. Dengan mata belo berbinar, dia berpindah dari satu rak ke rak lainnya.

"Aziel, jangan lari-lari. Nanti kalo ada yang rusak gimana?"

Aziel ngambil mainan dinosaurus. Sambil ngaum-ngaum niruin suaranya, dia melompat-lompat.

"Dek, kenapa gak ngajakkin ke toko mainan yang biasa aja?" Mas Alfan bisik-bisik.

"Yang biasa dimana, mas?"

"Ya, di pasar gitu."

"Pasar juga dimana, mas. Aku ngajakkin kesini kan, karena deket sama apartemen."

"Iya juga, sih. Tapi harganya mahal-mahal." Mas Alfan bisik-bisik.

"Mahal juga aku gak peduli, mas." Aku balas berbisik. "Lagian segimana mahal sih? Kalo aku mau beli satu toko ini, aku juga bisa."

"Duhh, nyombong nih..."

"Ehehe..."

Mas Adit itu orangnya lucu. Lucu dalam artian, sikap dan wajahnya juga. Dia itu sebenarnya udah kelas 12. Tapi wajahnya imut-imut. Pantes aja, Mas Fian langsung ngajakkin buat ketemuan terus wik-wik.

"Adriel, ini banyak banget.." Mas Adit bisik-bisik dengan wajah gak enak. "Satu aja juga cukup."

"Gak papa, mas. Biar Aziel gak sedih lagi."

Aku perhatiin Aziel yang lagi dimomong sama Mas Niko dan Mas Alfan. Mereka bertiga udah cocok banget jadi keluarga cemara. Apalagi Mas Niko yang sampai gendong Aziel di pundaknya.

Aku malah cemas sama Mas Adit. Takutnya nih ya, kepolosan Mas Adit malah disalah gunakan sama dua pria dewasa itu.

"Terus, sekolah Mas Adit gimana? Kan tanggung, bentar lagi udah mau lulus."

"Habis mau gimana, Driel." Mas Adit nunduk malu. "Kalo kamu ada info lowongan, aku mau, Driel."

"Lowongan itu kan minimal punya ijazah SMA, mas." Aku alihin pandanganku ke arah mbak-mbak kasir, yang lagi ngescan belanjaannya Aziel. "Disini ada lowongan gak, mbak?"

"Lowongan ya, kak? Hmmm, kurang tahu."

"Gak tau, apa gak mau ngasih tau? Jadi orang mah jangan pelit. Rejeki sempit nanti.."

"Emang gak tau, kak. Maaf..."

"Abis ini kita makan, sekalian ngomongin sekolahnya Mas Adit."

"Adriel, kamu..." Mas Adit natap aku dengan mata berkaca-kaca. "Maaf, kalo kehadiranku sama Aziel, malah membuat kamu susah."

"Jangan ngomong kayak gitu, kak. Selama aku bisa bantu, pasti aku bantu. Soalnya, aku juga dulu pernah susah..."





"Kalo gitu, Adit sekolahnya samaan aja sama kamu, dek."

"Ya gak bisalah, Mas Alfan! Orang aku masuk situ aja karena beasiswa."

He Never SleepsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang