76

12 0 0
                                    

"Kak, Nathan udah di depan."

Kak Dante masih terengah-engah. Padahal aku cuma ngisep aja, tapi dia kayak puas banget ekspresi. Mungkin karena dua hari kemaren aku dan dia sama sekali gak berhubungan seks.

"Makasih ya..." Kak Dante mencium bibirku.

Sebelum keluar aku semprot dulu mulutku dengan spray penyegar beraroma mint. Supaya gak ada yang curiga, kalo ada bau lain yang menyembur keluar dari mulutku.

"Aa Ajieell...!!" Aziel teriak-teriak.

Padahal aku udah sengaja lewat halaman samping. Tapi itu bocah ngeliat aja pas aku lewat.

"Aku pakai sepatu balu...!"

"Hehe, iya. Sepatunya bagus...!"

Nathan udah berdiri-diri di depan tempat prakteknya Mas Niko. Kenapa pagi ini, aku agak deg-degan ya ngeliat dia..?

"Udah mau berangkat ya, dek?" tanya Mas Adit.

"Yaudahlah, mas."

"Kirain orang kaya gak perlu capek-capek sekolah..."

"Mas Alfan, aku hajar nih mulutnya...!"

"Hehe, bercanda.."

Aku hampiri Nathan. Penampilannya sekarang agak beda. Dia kembali kinclong kayak waktu pertama kali aku bertemu dengannya.

"Pagi.."

Sepeninggalan orang tuanya, Nathan gak benar-benar jatuh miskin. Buktinya, orang tuanya itu meninggalkan sejumlah warisan yang nominalnya hampir mencapai 3 miliar.

Waktu itu dia gak berani pulang ke rumahnya, karena Prince. Nyawanya benar-benar terancam saat itu. Jadi, dia harus menemukan tempat tinggal lain, dan membawa barang seadanya.

"Thank's ya, Driel.."

"Untuk...?"

"Semuanya." Nathan noleh sambil senyum.

"Jadi, kamu kapan pindah?"

"Kamu ngusir aku?"

"Bukan ngusir, Nathan. Tapi kan, kamu masih punya rumah. Besar lagi.."

"Rumah itu udah aku iklanin..."

"Seriusan..?"

"Jangan bilang kalau kamu mau beli.."

"Ya enggaklah!" Tukasku. "Di Jakarta aja, aku udah punya 45 rumah, sama 118 unit apartemen. Buat apa juga, aku numpuk-numpukkin rumah...?"

"Hmm, iya juga."

"Yaa, aku sih gak keberatan kamu tinggal di tempat prakteknya Mas Niko. Tapi kan, kamar disitu kecil-kecil."

"Yang penting aku nyaman."

"Ehh, jadi gimana? Mas Arul apa Mas Adit, nih..?"

"Mak --- maksud kamu apa...?"

"Jangan pura-pura, deh. Eheehe..."

"Aku sih masih mengharapkannya kamu.."

"Berarti kamu harus berhadapan sama Kak Dante." Ucapku. "Tapi, kalau kita sembunyi-sembunyi sih, boleh juga. Hehehe, asal gak ketahuan aja.."

"Sembunyi-sembunyi...?" Wajah Nathan merah banget. Dia kayak gugup dan salting.

"Tapi maksudku, kita gak bisa sering-sering ngesekslah.."

"Ngeseks...?!" Mata Nathan membulat. "Aku pikir, kita cuma sebatas jalan, nonton dan makan bareng.."

"Jangan. Itu sih bahaya. Aku kan gak tahu siapa aja teman-temannya Kak Dante di sekolah yang baru. Bisa aja nyuruh salah satu temannya buat jadi mata-mata."

He Never SleepsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang