23

79 9 1
                                    

"Lah, aku kira selama ini kamu kemana-mana sama si Dante, udah resmi pacaran."

"Akunya yang belom mau, mas."

"Kalo sama aku aja gimana?"

"Boleh. Asal ada syaratnya."

"Syarat apaan sih?" Mas Fian nyubit pipi aku.

Karena gak kebagian parkir di basement, jadi kita parkir di luar gedung. Mau gak mau, abis parkir kita jalan dulu lumayan jauh buat sampai ke lobbynya.

"Aku kan keren, ganteng, tinggi, putih, kontolku juga panjang dan besar."

"Masalahnya, Mas Fian punya uang lima puluh miliar gak?"

Mas Fian diam mematung. Wajahnya berubah pucet. "Kamu gak lagi nyindir, kan..?"

Ting.

Pintu lift terbuka. Ada 2 cowok yang mau keluar dari lift itu. Tapi aku gak begitu merhatiin. Karena dari tadi aku udah puyeng juga dengerin celotehannya Mas Fian.

"Adriel...?"

Aku tersentak. Kutajamkan penglihatanku. "Nathan? Prince?" Aku baru sadar, kalo ternyata kedua cowok itu adalah temen sekelasku. Dan disaat itulah, pintu lift kembali menutup.

"Duit sebanyak itu, mana aku punya." Mas Fian mulai ngomong lagi. "Jangankan aku, kakek juga belom tentu punya."

"Yaa, kalo begitu jodohku bukan Mas Fian."

Sekitar jam 21.10, aku sama Mas Fian sampai juga di unitnya Mas Alfan. Kupikir, mereka udah pada tidur. Taunya mereka masih ngumpul di ruang tamu. Disitu juga udah ada Kak Dante rupanya.

"Ngapain dia kesini lagi?" Mas Alfan langsung sinis.

"Sengaja aku bawa kesini, mas. Daripada Mas Fian party seks di kosan yang lama."

"Alfian..." Mas Niko beneran kecewa kayaknya.

"Duduk situ, mas." Aku suruh Mas Fian buat duduk deket Mas Adit.

"Dek, ini kamu yang beli semua?" tanya Mas Alfan.

"Iya, mas. Kasian kan Aziel, kalo gak ada tv.."

"Bukan pake duit jualan, kan?"

"Uang hasil jualan gak ada lima juta. Kemaren dipake liburan aja, udah habis 4 jutaan." Aku kembaliin aja kartu debit Mas Alfan yang tadinya ada di dompetku.

"Kamu jangan tersinggung dulu, dek."

"Aku gak tersinggung, mas."

"Si dedek gumush itu ternyata tajir, mas! Tadi aja, aku dijemput pake tesla keluaran terbaru!"

Untungnya, gak ada satupun dari mereka yang nanggepin omongan Mas Fian.

"Sekarang maunya Mas Fian, gimana?"

"Maunya?"

"Mas Adit sama Aziel, tuh."

"Yaa, itu sih terserah mereka. Mau balik lagi ke Bandung juga silahkan.."

"Gini nih, sikap asli si manusia brengsek.."

"Mas Alfan.."

"Ya terus, aku harus gimana? Uang aja aku udah gak punya."

"Kan bisa kerja." Tukasku.

"Kerjaan apaan?"

"Manusia kayak dia, mana bisa? Taunya cuma ngabisin duit orang lain."

"Kalo ada, mau nyoba gak mas?" tanyaku.

"Yaa, asal jangan yang berat-berat."

Aku menghela. "Jadi OB. Kerjanya gak berat. Paling cuma bikinin kopi, nganterin berkas, sama ngelap-ngelap meja."

He Never SleepsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang