67

8 0 0
                                    

Kuayunkan sekali lagi kakiku, tepat di wajah preman suruhan itu. Aku gak peduli, dia mati atau enggak. Kalopun semisal mati, aku tinggal suruh anak buahku, untuk membuang mayatnya ke tengah-tengah samudera.

"Aku mau ketemu sama bajingan pengecut yang menyuruh kalian.."

"Adriel, kamu jangan siksa mereka.." Bisa-bisanya Michele masih menaruh rasa kasihan sama preman-preman itu.

Salah satu ponsel preman itu berdering. Kebetulan sekali, karena aku gak perlu susah payah untuk memaksa preman-preman itu membuka mulutnya.

"Semua anjing-anjing suruhanmu udah kubuat sekarat. Kapan kita bisa bertemu? Karena aku udah gak sabar, untuk membuat wajahmu babak belur..."

Klik.

Begitu telepon terputus, Om Dipta megang tanganku dengan wajah panik. Bahkan, aku liat dia juga menangis.

"Maafkan om, Adriel..."

"Mas Agung udah nyeritain semuanya, om."

"Agung..."

"Maaf, om. Aku gak bisa merahasiakannya lagi."

"Rahasia apaan sih, Adriel?" tanya Michele.

"Wajahku itu, mirip sekali dengan anaknya Om Dipta yang udah meninggal."

"Hah...?!"

"Itulah kenapa, aku cuma bisa ngomong dan minta tolong sama kamu." Suara Mas Agung serak. "Maafin aku, Adriel."

"Berapa hutangnya, om?"

"Jangan. Tidak usah, Adriel."

"Enggak, om. Kalo hutang itu gak dibayar, masalah ini gak akan pernah selesai."

"Tapi..."

"Enam ratus juta..." Salah seorang preman itu menjawabnya dengan tertatih.

"Enam ratus juta...?!"

"Sebetulnya waktu itu kami meminjam hanya dua ratus juta. Untuk biaya berobat Arkan." Jelas Om Defin.

"Heh, enam ratus juta darimana?!"

"Itu termasuk bunga dan denda keterlambatan. Sudah peraturan dari juragan.."

"Halahhh...! Juragan -- juragan...!" Aku ambil salah satu pot bunga yang ada di dekatkut, lalu aku lempar pot itu tepat ke atas kepala preman tersebut. "Aku udah sering berhadapan dengan anjing-anjing kampung seperti kalian. Cuihhh..!" Kuludahi wajah preman tersebut. "Bawa mereka semua. Bakar sampai tidak tersisa!"

"Ba --- kar...?!" Rafael sampai melotot. Wajahnya pucet banget.

"Adriel, mereka mau kamu bakar?"

Aku ngangguk. "Iya. Hidup di dunia pun, mereka itu udah gak ada gunanya lagi."

"Baik, Tuan Harchie."

"Tuan, bagaimana dengan hutangnya? Berapa yang harus kita bayar?"

"Bayarkan semuanya."

"Adriel, apa kamu..."

"Om Dipta tenang aja ya. Uang segitu, gak ada apa-apanya untukku. Hhehee.."

"Baik, Tuan Harchie."

"Jangan lupa, kalian hancurkan rumah dan perkebunan juragan itu, sampai tak bersisa. Kalau perlu, habisi juga anak dan isterinya."

"Adriel..."

"Ini bukan hanya masalah hutang piutang. Tapi ---" Aku tatap Om Dipta lamat-lamat. "Ada urusan lain, antara aku dan orang yang mereka panggil juragan itu."

He Never SleepsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang