2

279 29 0
                                    

Ardan...

Dengan wajah berlumuran darah, pria itu tetap terlihat tenang, memotong bagian demi bagian, sesosok tubuh remaja, yang kini tinggal bersisa bagian dadanya saja.

Dengan wajah dingin dan datar, dia raih potongan alat kelamin pria, kemudian dia endus beberapa saat, sebelum dia lemparkan kepada anjing hitam peliharaannya.

Total ada 15 kotak, telah berjajar rapih di hadapannya. Namun hanya ada satu kotak, yang dia bungkus dengan kertas pembungkus, dan sebuah pita berwarna emas menyala.

Dia bawa semua kotak itu, ke ruang tengah rumahnya, dengan kondisi telanjang bulat.

Sambil bersiul-siul menyanyikan sebuah lagu, dia bersihkan sekujur tubuhnya.

Pukul 19.00, dia menuju ke sebuah hotel berbintang di kawasan Kuningan. Namun sebelum itu, dia sengaja mampir ke beberapa tempat terlebih dahulu.

Diantaranya, SPBU, ATM Centre, minimarket, warung tenda, parkiran swalayan, sekolah, masjid, dan terakhir kantor polisi.

Di setiap tempat-tempat itulah, ia letakkan sebuah kardus, yang sudah ia bungkus dengan rapih sebelumnya.

Drrttt...!

Ponsel itu bergetar. Sebuah seringai tergambar jelas di wajahnya. Dia tampak mengabaikan panggilan itu. Sambil melajukan kembali mobilnya, dia kembali bersiul, menyanyikan lagu itu kembali.

Sampai di sebuah persimpangan jalan yang gelap, pria itu memelankan laju mobilnya. Sepasang matanya, tajam menatap pada sosok yang kini tengah berdiri sendirian di depan pos kamling.

Diraihnya sebilah pisau bermata tajam, kemudian dia sembunyikan di bawah jok mobilnya.

Tinn..!

Sosok yang tengah berdiri di tepi jalan itu, melambaikan tangan dengan senyum merekah di wajahnya.

Sebelum turun, pria itu merapihkan rambut melalui pantulan kaca spion tengah mobilnya.

"Malem, Pak Seno!"

Pria itu melempar senyum ramah. "Malam, Arul."

"Maaf merepotkan, Pak Seno..." Sesosok pria tua, dengan wajah kepayahan muncul dari dalam pos kamling itu.

"Kenapa bapakmu disini, Rul?"

"Aku juga gak tahu, pak. Bapak bilang, enakkan disini. Ada teman buat ngobrol."

"Betul, Pak Seno. Nanti juga banyak yang jaga disini biasanya." kata pria paruh baya itu. "Pak Seno, kalau ini acara resmi, sebaiknya tidak usah ngajak Arul."

"Tidak apa-apa, pak. Biar saya ada temannya juga." jawab pria itu ramah. "Kalau begitu, kami pergi dulu, pak."

"Arul pamit ya, pak."

Pria paruh baya itu menggenggam tangan anaknya erat. "Hati-hati ya, Rul. Jangan tinggalin bapak sendirian disini."

"Arul kan cuma pergi 2 jam, pak."

"Ayo, Arul..."

Sekali lagi, Arul menoleh pada bapaknya. Sebetulnya dia tak sampai setega itu, meninggalkan bapaknya sendirian.

He Never SleepsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang