41

59 6 2
                                    

Plak!

Satu tamparan keras mendarat di pipinya Kak Dante. Wajah pria paruh baya bermata kecil, tampak masih merah membara.

"Kamu jangan macam-macam, Dante! Sekarang kakakmu lagi kritis di dalam sana!"

"Aku cuma mau ngenalin Adriel sebagai pacar aku, mi!"

"Sudah gila kamu, Dante! Papi membesarkan dan mendidik kamu, bukan untuk menjadi homoseksual!"

"Tapi pi, cuma Adriel yang selama ini ada untuk aku! Disaat aku sendiri, sakit, dan butuh tempat buat mencurahkan semua keluh kesah, apa kalian pernah ada untuk aku..?!"

"Diam kamu!"

"Mami kecewa sama kamu, Dante! Mau taruh dimana muka mami sama papi...?!"

Drama banget sih. Perasaan, mulai dari lahir sampai mati, yang namanya muka atau wajah kan gak bisa dipindah-pindah. Kecuali, kalo emang sengaja dipindah ke pantat misalnya.

Kok aku malah merinding ya ngebayanginnya...?

"Mami kasih kebebasan sama kamu, supaya kamu bisa mandiri, Dante!"

"Sekarang juga, kamu pulang ke rumah!"

"Enggak, pi. Aku gak mau."

"Dante!"

Kurasakan tangan Kak Dante, makin erat menggenggam tangan kananku.

"Lepaskan tangan anak itu, Dante!"

Kak Dante geleng. "Enggak, mi."

"Baik. Kalau kamu masih tetap keras kepala." Pria paruh baya itu -- maksudku, papinya Kak Dante kacak pinggang sambil manggut-manggut. "Kamu pindah sekolah!"

"Dante gak mau, pi."

"Kamu gak mau...? Iya...?"

"Dante..!"

"Baik. Mulai detik ini, kamu bebas melakukan apapun! Tapi --- jangan pernah kamu anggap, kami ini sebagai orang tuamu! Karena kami --- sampai matipun, tidak pernah mempunyai anak homoseksual, seperti kamu!"

"Papi..!"

"Iya. Siang. Kamu blokir semua rekening dan kartu kredit Dante. Ambil semua kendaraan dan juga uang sekolah yang sudah saya bayarkan."

"Pulang, Dante! Kembalilah sama mami dan papi!"

Kak Dante masih aja geleng. "Uang masih bisa aku cari. Tapi orang seperti Adriel, aku mungkin tidak akan pernah mendapatkan penggantinya..."





"Aku bisa bantu-bantu disini, mas."

"Udah ada Bu Irma sama Pak Dilah." Ujar Mas Alfan asem. "Mending kamu balik deh ke orang tua kamu. Jadi anak tuh jangan keras kepala."

"Aku emang keras kepala, mas. Kayak Mas Alfan yang gak pernah mau pisah sama Mas Niko. Bener kan, mas?"

"Nah kan, dibalikkin..." Aku ngikik dalam hati.

"Lagian nih ya, Adriel itu udah dilamar sama temennya. Prince. Si cucu konglomerat itu."

"Aku udah tau, mas."

"Kalo kamu udah tahu, terus ngapain masih ngejar-ngejar Adriel?"

"Karena Adriel cinta pertama dan terakhirku."

Ya ampun ini orang, kok sampai sebegitunya sih...?

"Terus, sekolah kamu gimana nanti?"

"Itu ---"

"Udahlah, Fan. Dante perlu istirahat. Biar pikirannya tenang."

"Terus gimana, dek?" Mas Alfan lagi, malah nanya aku... "Aku mah jujur-jujuran aja. Semua yang pegang kendali disini kan, kamu. Kasarnya, aku aja numpang hidup sama kamu."

He Never SleepsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang