12. Anak sial?

83 5 0
                                    

Happy reading..


Clara berjalan menyusuri koridor rumah sakit, tempat Dokter Ari bekerja, tempat yang sama dimana Flores berpulang.

Membuka salah satu pintu ruangan yang dikatakan resepsionis saat tadi dirinya bertanya ruangan sang Ibu.

Belum sepenuhnya Clara melangkah masuk ke dalam sana, sebuah lemparan vas bunga terbang ke arahnya, pecahannya hampir saja mengenai gadis itu.

Ia refleks menatap Ayahnya, pria yang melemparkan vas bunga itu menatap tajam penuh amarah pada Clara, tatapannya seakan ingin membunuhnya.

Dokter Ari dan Racala yang juga ada di dalam ruangan tersebut terdiam menyaksikannya. Clara sempat melirik Ibu nya yang sedang terbaring di brankar dengan alat bantu yang terpasang ditubuhnya.

"Kemari kau anak sialan!" bentak Ayah menarik kasar tangan Clara ke tengah ruangan.

Plak!

Wajah Clara tertoleh saat tamparan keras dilayangkan padanya. Gadis itu meringis pelan saat rasa nyeri dan panas mulai menyelimuti pipi nya.

Atmosfer terasa begitu mencekam, Dokter Ari hendak maju menolong keponakannya, namun Racala segera menahan pergelangan tangannya.

Clara memegang pipinya, dia menatap sang Ayah dengan mata memerah menahan tangis.

Ayah mendorong Clara kasar, membuat gadis itu terhuyung ke belakang.

"Dasar anak sial! Saya menyesal telah membiarkanmu hidup waktu itu!" bentak Ayah penuh amarah, Clara hanya menundukkan kepala mendengar tuturan menyakitkan dari Ayahnya.

"Kau lihat Ibumu?! Dia terbaring di sana karena kesialanmu! Kenapa kau harus hadir dalam keluargaku? Kenapa bukan kau saja yang mati waktu itu!"

"Apa setelah adikmu, kau juga ingin melenyapkan Ibumu sendiri?! Kesialanmu sepertinya benar-benar mendarah daging, andai saja waktu bisa di putar, aku pasti tidak akan membiarkanmu hidup." ujar Ayah meremas rambutnya emosi.

Pertahanan Clara runtuh, gadis itu menangis dalam diam saat mendengar perkataan Ayahnya, semua yang pria itu lontarkan berhasil membuat hatinya berdenyut nyeri.

Ayah mendekat, mencengkram bahu Clara membuat sang putri meringis karenanya.

"Pergi, pergilah yang jauh dari keluargaku! Kesialanmu hanya akan merusak dan menghancurkan keluargaku. Kau anak tersial yang pernah ada, apa kau dengar itu?! Kau gadis sial yang sayangnya ku biarkan hidup dan pada akhirnya hanya merusak keluargaku!" ujar Ayah.

"Clao! Berhenti berbicara seperti itu kepada putrimu sendiri!" tegur Dokter Ari.

"Diamlah! Ini bukan urusanmu." ujar Ayah dingin.

Clara mengusap kasar pipinya saat air mata terus saja mengalir. Ia menggigit pipi bagian dalamnya guna menahan isakan.

Ayah mendorong tubuh Clara hingga jatuh ke lantai. Pria itu berjongkok di hadapan putrinya, kemudian memegang dagu Clara lalu mencengkeramnya kuat, kuku-kuku panjang pria itu melukai dagu Clara.

Ayah mendorong wajah Clara ke samping, cengkeramannya meninggalkan bekas hingga mengeluarkan darah pada dagu gadis itu.

"Clao! Hentikan perbuatanmu!" sentak Dokter Ari segera menghampiri Clara, kemudian membantunya berdiri.

Ayah menatap dingin keduanya.

Racala menatap Clara dengan tatapan rumit, sejujurnya Ia ingin sekali menolong adiknya, namun rasa sakit karena kehilangan orang-orang yang disayanginya karena gadis itu membuatnya mengurungkan niat.

Tidak! Ia tidak boleh mengasihani gadis sial dan menyedihkan itu!

Clara menoleh menatap Ibu nya, sebulir air mata kembali mengalir di pipinya. Apa benar Ibunya terbaring di sana karena kesialannya?

"Keluar dari sini, dan jangan pernah muncul di hadapanku." titah Ayah dengan nada dingin.

Clara menatap Ayah dengan perasaan sesak. Kemudian beralih menatap Racala yang sedari tadi hanya diam.

"Ayah-" panggil Clara.

"Berhenti memanggilku Ayah sialan!" sentak Ayah menatap Clara murka. "Pergi dari sini!" lanjutnya.

Clara terisak seraya menatap sendu Ayahnya. Dokter Ari mengelus lembut pundak keponakannya, Ia menatap iba gadis itu.

"Apa kau tidak mendengarku anak sialan?! PERGI!!" teriak Ayah yang sudah habis kesabaran.

Clara tersentak, gadis itu menundukkan kepalanya. Dokter Ari yang peka pun segera menggiring Clara keluar dari ruangan tersebut.

Ayah mengepalkan kedua tangannya, menatap penuh kebencian pada Clara yang berada di ambang pintu keluar bersama Dokter Ari.

"Anak sial! Kenapa kau tidak mati saja."

***

Dokter Ari menenangkan Clara, pria itu mengusap punggung keponakannya dengan lembut.

"Dokter.. Clara anak sial ya?" tanya Clara dengan suara bergetar.

Dokter Ari menggeleng pelan, diusapnya surai itu dengan lembut. Ia sudah menganggap gadis itu seperti putrinya sendiri.

Waktu kecil, seringkali ia mengajak Clara bermain ke rumah sakit atau ke rumahnya, dikarenakan Ayah dan Ibu gadis itu sering keluar negeri.

Bahkan, pernah juga beberapa kali mereka meninggalkan Clara sendirian saat pergi liburan bersama tanpa mengajaknya, mereka hanya mengajak Racala.

"Dokter?" panggil Clara yang tengah berada dalam pelukan hangat Dokter Ari.

"Ya?"

"Apa Ayah sebenci itu padaku?" tanya Clara mendongak menatap sendu wajah Dokter Ari.

Dokter Ari terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Pria itu masih terus mengelus rambut Clara yang ada dalam dekapannya.

"Berhenti memikirkan hal itu."

"Kenapa?"

"Tidak apa. Beristirahatlah disini, aku akan kembali memeriksa keadaan Ibu mu." ujar Dokter Ari, kemudian beranjak pergi dari sana.

Clara menatap kepergian pamannya itu. Lalu beralih menatap sekeliling. Ruangan ini merupakan ruang pribadi milik Dokter Ari.

Clara melangkah pada sebuah foto yang terbalut bingkai, terletak pada meja di sebelah kanannya. Foto itu adalah foto lawas yang diambil beberapa tahun silam sebelum kepergian Nenek dan Kiara.

Clara mengusap foto itu lembut, ia melihat senyum manis yang terpatri di bibir Clara kecil kala itu.

***

Sebuah ruang sempit minim cahaya, dibekali 2 buah kursi serta 1 meja di tengah-tengahnya. Terdapat dua manusia yang tengah berbincang seraya duduk di kursi-kursi tersebut.

"Kerja bagus. Aku dengar dia sampai koma karena kecelakaan itu?"

"Tentu saja, aku bahkan bisa membuatnya mati seketika jika aku mau. Wanita sialan itu sangat menyebalkan dan angkuh, dia pantas mendapatkan hal itu."

Setelahnya, mereka berdua tersenyum penuh kelicikan.

Clara dan Lukanya (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang