Happy reading..
Clara beranjak dari makam Flores, kemudian melangkah pergi dari sana. Di tengah pemakaman, atensi Clara teralih pada pria yang tengah duduk sembari menunduk di dekat salah satu makam yang juga ada di sana.
Clara merasa tak asing dengan jaket kulit yang dikenakan pria itu. Karena penasaran, gadis itu memilih menghampirinya. Meskipun sungkan, Clara memberanikan diri menyentuh pundak pria itu.
Alhasil, pria tersebut sedikit tersentak saat Clara menyentuh pundaknya. Ia menatap gadis itu dengan tatapan datar.
Sedangkan Clara, gadis itu terkejut saat tahu bahwa pria itu adalah Vano. Pantas saja jaketnya tidak asing, ternyata ia pernah melihatnya saat di taman kemarin ketika selesai mengobati lutut Tio yang terluka.
"M-maaf, gue kira lo kesurupan." ujar Clara berusaha mencari alasan yang masuk akal.
Vano hanya mengangkat sebelah alisnya, kemudian berdiri di hadapan Clara seraya menatap gadis itu dingin.
"Kau sedang apa di sini?" tanya Vano dengan ekspresi terlihat begitu dongkol.
"Gue? Gue lagi ngunjungin makam sahabat gue." jawab Clara sembari tersenyum menutupi kesedihannya saat tiba-tiba kenangannya dengan Flores kembali teringat.
"Lo sendiri?" tanya Clara.
Vano menunjuk makam yang tadinya ia kunjungi seraya berucap.
"Ayah Saya." ucapnya.
Clara melebarkan matanya terkejut.
"Ayah lo? Berarti Ayah Tio juga dong?" tanya Clara beruntun.
"Hmm," dehem Vano sebagai jawaban.
"Jadi Tio udah nggak punya Ayah?" tanya Clara lagi.
"Menurutmu?" bukannya menjawab pertanyaan Clara, Vano justru balik bertanya pada gadis itu.
Clara menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Entahlah, saat ini ia tiba-tiba merasa begitu canggung.
"Iya, Ayah Tio juga berarti." ucap Clara tanpa melihat wajah Vano. "Gue duluan ya." lanjut Clara pamit.
Vano tidak membalas ucapan gadis itu, ia menatap Clara datar.
Sementara Clara sudah melangkah pergi dari sana.
***
Setelah dari pemakaman tadi, Clara tidak langsung pulang. Ia meminta Pak Doni untuk mengajarinya menyetir terlebih dahulu.
Kini, Clara telah berada di sebuah lapangan yang luas. Gadis itu mulai belajar menyalakan mobil, membelokkan, mengerem, dan beberapa hal yang memang harus di pelajari saat berkendara.
Pak Doni dengan penuh kesabarannya mengajari Clara yang benar-benar sangat menguji kesabaran. Berkali-kali Clara menabrak beberapa pohon yang ada di sana, terkadang juga menghentikan mobil secara mendadak.
Setelah beberapa jam berlatih menyetir, Clara sudah lumayan bisa mengendarai mobil tersebut. Meskipun masih harus didampingi oleh Pak Doni.
"Pak, kayaknya berlatih nyetir hari ini sampai sini dulu. Saya udah capek pak," ujar Clara sembari menyeka keringat yang ada di keningnya.
"Baik Non," timpal Pak Doni. Kemudian memberikan sebotol air mineral dingin pada Clara, dan di balas kata 'Terimakasih' oleh sang empu.
Clara mengedarkan pandangannya pada sebuah danau kecil di samping lapangan tersebut. Airnya masih terlihat jernih dan sejuk sepertinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Clara dan Lukanya (Selesai)
Teen Fiction"𝙺𝚞 𝚋𝚒𝚊𝚛𝚔𝚊𝚗 𝚕𝚞𝚔𝚊 𝚒𝚗𝚒 𝚝𝚎𝚛𝚞𝚜 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚕𝚊𝚛. 𝙷𝚒𝚗𝚐𝚐𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚙𝚊𝚒 𝚠𝚊𝚔𝚝𝚞𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚒𝚋𝚊, 𝚊𝚔𝚞 𝚝𝚊𝚔 𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚖𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊𝚔𝚊𝚗𝚗𝚢𝚊 𝚕𝚊𝚐𝚒." • • • "Aku adalah luka yang tak pernah sembuh." Clara Devantara. Gadis...