Happy reading..
Keheningan melanda, mereka yang ada di luar ruangan tempat Racala dirawat menatap iba pada Clara."Akhhhhh!!!! Gue ga mau lumpuh!!!" teriak Racala terdengar nyaring dari dalam ruangan tersebut.
Clara berdiri dengan raut gelisah, ia menatap khawatir ke arah pintu sana. Apa katanya tadi? Lumpuh? Tidak-tidak! Mungkin Clara hanya salah dengar, benar, ia salah dengar.
Clara mencoba untuk tetap berpositif thinking.
"Ra?" panggil Riri mengusap lembut punggung Clara. Sang empu hanya diam membisu sembari terus menatap pintu.
Clara sangat ingin masuk dan menemui kakaknya, namun nyalinya tidak seberani itu untuk bertemu dengan Ayahnya lagi di dalam.
"Dokter!" panggil Clara saat melihat Dokter Ari yang baru saja keluar dari ruangan itu dengan ekspresi sedih. "Dokter! Bang Kala baik-baik aja kan? Iya kan??" Clara bertanya seraya menatap penuh harap.
Dokter Ari meneguk ludah kasar. Menatap sedih ke arah Clara. "Dia.. Lumpuh."
Clara terdiam. Nafasnya terasa tercekat. Jantungnya berdetak tak karuan, sedangkan matanya sudah memerah menahan tangis.
Riri dan kelima pemuda itu sama halnya dengan Clara, terkejut dan serasa tak percaya.
"Gimana bisa.." lirih Clara disertai air mata yang mengalir deras di pipinya.
Tak berselang lama, Ayah keluar dari ruangan itu, menghampiri Clara dan mencengkram tangannya.
"Clao!"
"Berhenti disana! Atau saya akan membunuhnya sekarang juga!" Ayah mengeluarkan cutter dari kantong celananya, lalu mengarahkan cutter tersebut pada leher Clara.
Ayah berpindah ke belakang tubuh Clara, menekan cutter itu hingga menggores leher bagian depan Clara. Sang empu melotot kaget, saat rasa perih mulai menyelimuti lehernya.
Semuanya terdiam sembari menahan nafas. Rasanya, untuk menghirup udara saja begitu sulit, atmosfer seakan-akan hilang secara tiba-tiba.
Rico mengepalkan tangannya erat. Rahangnya mengetat menatap Ayah penuh emosi.
"Jangan mendekat!" bentak Ayah saat Rico hendak melangkah maju. "Selangkah dari kaki kalian, maka satu goresan pada leher anak sialan ini!"
Clara diam tak bergeming. Tangannya memegang erat lengan Ayah yang sedang memegang cutter.
Ayah kemudian membawa Clara pergi, melangkah secara perlahan, lalu setelah jaraknya sudah agak jauh, Ayah menarik tangan Clara menaiki tangga menuju rooftop.
Keduanya lambat laun mulai mengecil dari pandangan mereka, dan akhirnya, hilang saat melewati tembok menuju tangga selanjutnya.
Dokter Ari, Riri, dan kelima pemuda itu saling pandang.
"Kenapa saling pandang gini sih?! Kejarlah!" sahut Bima yang hendak melangkah menyusul Ayah dan Clara.
"Jangan! Jika Clao tau kita mengikuti mereka, maka itu akan bahaya bagi keselamatan Clara." ujar Dokter Ari mencegah.
"Lebih bahaya lagi kalau ga nyusul mereka!" balas Rico berlari mendahului.
Keempat temannya kemudian saling pandang, detik berikutnya, mereka ikut berlari menuju tangga atas, Riri pun ikut menyusul.
Dokter Ari menatap gamang kepergian mereka semua. Tapi tak ayal, ia juga ikut berlari, takut sesuatu hal buruk terjadi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Clara dan Lukanya (Selesai)
Teen Fiction"𝙺𝚞 𝚋𝚒𝚊𝚛𝚔𝚊𝚗 𝚕𝚞𝚔𝚊 𝚒𝚗𝚒 𝚝𝚎𝚛𝚞𝚜 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚕𝚊𝚛. 𝙷𝚒𝚗𝚐𝚐𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚙𝚊𝚒 𝚠𝚊𝚔𝚝𝚞𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚒𝚋𝚊, 𝚊𝚔𝚞 𝚝𝚊𝚔 𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚖𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊𝚔𝚊𝚗𝚗𝚢𝚊 𝚕𝚊𝚐𝚒." • • • "Aku adalah luka yang tak pernah sembuh." Clara Devantara. Gadis...