Happy reading..
"Yang gerak pacarnya mimi peri!" teriak Geo membuat Dion dan Bima membeku di tempatnya.Saat ini, kelima pemuda itu tengah berada di rumah Rico. Selain rumah si kembar, mereka juga sering ngumpul di rumah Rico. Karena rumahnya nyaman dan Ibu pemuda itu, Feli. Juga sangat baik pada mereka.
Seperti saat ini, Ibu Rico sedang membuatkan pai coklat khusus untuk mereka makan.
Rico dan Leo membantu Ibu membuat pai itu di dapur. Sementara Dion, Bima, dan Geo main kejar-kejaran tak jelas sambil melempar bantal sofa di ruang tamu.
Ayah Rico, Affandy. Turun dari tangga, menatap bingung ketiga pemuda yang ada di ruang tamu itu, mereka sedang diam bak patung.
"Kalian kenapa?" tanya Ayah Rico.
"Yang gerak pacarnya mimi peri om," ujar Geo masih dengan badan tak bergerak.
Saat ini, Geo terlihat membeku dengan kaki naik sebelah di sofa. Sedangkan Dion duduk dengan posisi hendak melempar bantal ke arah Bima. Lalu bima, dengan posisi berdiri menutupi wajahnya yang seolah-olah akan segera kena lemparan bantal dari Dion.
Dan epiknya lagi, Ayah Rico malah ikutan tak bergerak di tempatnya. Sambil memegangi pegangan tangga, kaki kanan pria itu maju duluan ke anak tangga, sedangkan kirinya masih ia letakkan di tangga yang lebih tinggi.
Geo, Dion, dan Bima menahan tawa melihatnya.
Leo, Rico dan Ibunya berjalan masuk ke ruang tamu dengan pai coklat lezat di tangannya. Mereka terhenti saat melihat keempat manusia itu membeku tak jelas di tempatnya.
Leo menatap datar Geo. Pasti akal-akalan pemuda itu lagi!
Rico menoleh pada Ayahnya yang diam tak bergerak di ujung tangga sana.
"Ayah juga?" tanya Rico menatap lelah Ayahnya. Bisa-bisanya pria itu menurut!
"Bergeraklah! Kalau ga, kami bertiga bakal makan pai ini sampai habis!" ancam Ibu Rico.
Bima yang doyan makan pun menatap pai itu cemas.
"Tapi tante, kalau kita gerak, nanti jadi pacarnya mimi peri!" ujar Geo absurd.
Ibu Rico menepuk kening lelah. "Memangnya mimi peri mau punya pacar seperti kalian?" cerca Ibu Rico pedas.
Mereka ternganga mendengar penuturan wanita itu. Ibu siapa ini? Kenapa savage sekali?
Rico dan Leo terkekeh pelan melihat kekonyolan itu. Lalu keempatnya mulai bergerak menuju Ibu Rico.
"Jangan gitu lah tante, gini-gini saya juga pernah tau di taksir sama lima cewek sekaligus!" ujar Geo sombong, sambil mengusap rambutnya ke belakang.
"Heleh-heleh, jangan percaya tante! Yang ada dia tuh yang naksir tu lima cewek sekaligus. Dan parahnya lagi, di tolak mentah-mentah sama kelima-limanya!" sahut Dion yang sudah tertawa karena tampang sok milik Geo.
"Hahahahahaha!!!" tawa puas Bima menggelegar di ruangan itu. Geo yang merasa dinistakan pun cemberut mendengarnya.
"Nistain aja terus, nistain!!" lelah Geo mendramatisi keadaannya.
"Gapapa, nanti kamu bisa bikin mereka suka balik, mau tau caranya?" ujar Ayah Rico menepuk-nepuk pundak Geo.
Geo seketika menoleh. "Gimana om?" tanyanya penasaran.
"Tinggal santet aja." jawab Ayah Rico santai. Membuat mereka yang ada di sana melongo mendengarnya.
"Yah?" Rico menatap Ayahnya lelah.
"Biarin aja biarin! Emang agak laen bapak kau itu! Entar Ibu carikan bapak baru ya?" ujar Ibu Rico yang lagi-lagi membuat mereka syok berkepanjangan.
Rico menatap kedua orang tuanya datar. Ada-ada saja!
***
Pagi harinya, mentari terlihat muncul dari ufuk timur. Menyinari seluruh alam, memberi kehangatan pada setiap insan.
Clara bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Setelahnya, ia turun dari kamarnya, menatap seluruh penjuru rumah mencari keberadaan Dokter Ari.
"Dokter mana Bi?" tanya Clara pada Bi Nina, saat tak menemukan adanya tanda-tanda Dokter Ari di sana.
"Beliau tadi pergi pagi-pagi sekali Nona, katanya ada pasien yang harus segera di operasi." ujar Bi Nina. Clara mengangguk sebagai balasan.
Clara lalu berjalan menuju parkiran. Melajukan mobilnya keluar dari pekarangan rumah menuju sekolah.
Sesampainya di sekolah, Clara melangkah memasuki koridor dengan santai. Ia menatap mereka yang berlalu-lalang, sibuk dengan dunia mereka sendiri.
Clara terdiam menatap Alfian yang tengah melambai padanya di ujung koridor sana. Pemuda itu nampak lebih ceria pagi ini.
Clara sampai di hadapan pemuda itu dengan kening mengerut.
"Gue ada sesuatu buat lo," ujar Alfian.
Clara mengangkat sebelah alisnya, seolah bertanya.
Alfian lalu mengeluarkan jepit rambut hitam berbentuk kupu-kupu yang indah dari sakunya. Selain matcha, Clara juga sangat menyukai makhluk bernama kupu-kupu itu, karena sayapnya yang begitu indah.
Saat Alfian hendak memasangkan benda tersebut pada rambut Clara, seseorang tiba-tiba datang dan menepisnya. Membuat Clara dan Alfian menoleh menoleh.
Rico menatap dingin Alfian, di belakang pemuda itu juga ada keempat teman-temannya yang tengah berdiri.
Tanpa banyak kata, Rico lalu menarik tangan Clara pergi dari sana, disusul keempat teman pemuda itu.
Tak seperti biasanya, Alfian hanya diam menatap kepergian Clara. Biasanya, pemuda itu akan mengejar Clara sampai lelah sendiri. Tapi sekarang, Ia sudah sadar, bahwa bukan dirinyalah yang Clara inginkan.
Alfian menatap sedih jepitan rambut kupu-kupu itu, ia lalu kembali memungutnya.
Tak apa, ia memang pantas diperlakukan seperti ini.
***
Di kantin, Clara, Tania, Laudi, Rico, Leo, Geo, Dion, dan Bima tengah duduk di satu meja yang sama.
"Gue sama Laudi mau mesen makanan. Ada yang mau nitip? Ra?" tanya Tania menoleh pada Clara.
"Mie ayam, es matcha." ujar Clara yang kemudian diangguki oleh Tania.
"Ga usah repot-repot nitipin pesanan mereka, biar gue yang mesen. Ayo sayang," ujar Dion merangkul pundak Tania menuju tempat pemesanan makanan.
Sepertinya ada kemajuan antara hubungan Dion dan Tania. Rumornya, mereka sedang pacaran saat ini.
Setelah kepergian Dion, Tania, dan Laudi. Leo mulai membuka percakapan yang cukup serius.
"Pak Beni nyuruh kita ke kantor polisi, habis pulangan nanti." ujar Leo. "Mereka udah mendeteksi sidik jarinya, dan menangkap tersangka yang saat ini lagi diinterogasi."
"Serius lo?!" sahut Bima.
Leo bergumam sebagai jawaban.
Clara menatap Leo serius. "Siapa nama tersangkanya?" tanyanya.
"Daren Gutama."
***
Thanks udah baca, see you next time🕊🤍.
KAMU SEDANG MEMBACA
Clara dan Lukanya (Selesai)
Teen Fiction"𝙺𝚞 𝚋𝚒𝚊𝚛𝚔𝚊𝚗 𝚕𝚞𝚔𝚊 𝚒𝚗𝚒 𝚝𝚎𝚛𝚞𝚜 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚕𝚊𝚛. 𝙷𝚒𝚗𝚐𝚐𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚙𝚊𝚒 𝚠𝚊𝚔𝚝𝚞𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚒𝚋𝚊, 𝚊𝚔𝚞 𝚝𝚊𝚔 𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚖𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊𝚔𝚊𝚗𝚗𝚢𝚊 𝚕𝚊𝚐𝚒." • • • "Aku adalah luka yang tak pernah sembuh." Clara Devantara. Gadis...