25. Luapan emosi

87 7 0
                                    

Happy reading..


Clara mengurung diri di kamarnya. Gadis itu memeluk tubuh ringkihnya sendiri, seraya menelungkupkan wajahnya pada kedua lututnya.

Setelah diantar oleh Rico, Clara tak lupa berterimakasih pada pemuda itu. Rico sempat memaksa untuk tetap berada di sana dan menjaga Clara sampai Dokter Ari pulang.

Namun, Clara menolak dan menyuruh agar pemuda itu pulang saja dan beristirahat. Rico lalu mengangguk dan beranjak pergi, sebelum itu, ia mengecup pucuk kepala Clara singkat. Membuat sang empu terdiam kaku.

"Jaga diri baik-baik." Bisikan itu masih terngiang di kepala Clara.

Clara mengangkat pandangannya saat merasakan siluet bayangan hitam melewati jendelanya. Ia bangkit dan berlari ke arah sana.

Clara membuka jendela, menoleh ke kiri dan ke kanan mencari bayangan itu. Tapi nihil, tak ada siapapun di sana.

Perasaan Clara mulai tak karuan, sejak tadi air matanya terus saja mengalir. Ia lalu menutup kembali jendela kamarnya dengan perasaan gelisah.

Clara terduduk di samping tempat tidurnya, tepatnya di bawah jendela yang baru saja ia tutup.

"Siapa lo sebenarnya.. Kenapa lo seakan-akan ga mau ngeliat gue bahagia.." lirih Clara disertai isak tangisnya. Dadanya di penuhi kesesakan bak terhimpit batu besar.

Clara mendongak menatap langit-langit kamar. "Gue capek.." lirihnya.

Entah ada angin apa, Clara tiba-tiba menarik paksa perban yang ada di lengannya. Sehingga darah kembali bercucuran ke lantai. Ia juga melepas paksa plaster yang ada di pipinya.

Clara melempar perban dan plasternya ke dinding kamar secara bersamaan. "Persetan dengan itu semua!"

Clara meluapkan emosinya pada kedua benda tersebut. Ia menangis sesenggukan menatap ke dinding kamar. Clara menunduk memandangi darahnya yang terus saja menetes ke lantai.

"Rasa sakitnya.. Ga sebanding dengan apa yang udah gue lewatin selama ini! GUE BENCI TAKDIR GUE, TAKDIR SIALAN!" teriak Clara mendorong meja sampingnya yang berisi lampu tidur.

Prangg!

Suara pecahan lampu tidur terdengar saat meja yang Clara dorong terjatuh ke lantai.

"GUE BENCI HIDUP GUE! KENAPA LO HARUS HIDUP SIALAN!! HARUSNYA LO IKUT MATI PAS KECELAKAAN ITU!!" maki Clara pada dirinya sendiri, ia memukul kepalanya berulangkali.

Clara bangkit dan menarik seprai ranjangnya hingga terjatuh ke lantai. Seprai putih itu terkena noda darahnya. Ia lalu melempar bantalnya ke dinding kamar dengan keras.

"Kenapa gue ga seberuntung mereka?! Kenapa gue ga bisa bahagia kayak mereka!!" teriak Clara.

Gadis itu terduduk lemas di lantai sembari bersandar di tepi ranjang. Tangannya menarik kasar rambutnya sendiri.

"Gue benci hidup gue.." lirih Clara dengan tangis pilunya. "Gue capek sama semuanya.."

"Kalau emang sedari awal ga ada yang pengenin kehadiran gue, kenapa mereka ga bunuh gue aja sejak kecil! Dari pada harus tetap hidup tapi seolah-olah dipaksa untuk mati!"

Tangisan penderitaan yang selalu Clara tujukan pada mereka, seolah hanya angin lalu. Seakan tuli dan buta, mereka tidak peduli pada kesakitan yang selama ini Clara terima.

Entah dengan cara apalagi gadis itu harus bertahan. Rasanya, untuk menopang tubuhnya sendiri saja, ia sudah tak sanggup.

Clara terisak pelan, gadis itu sesenggukan sambil memeluk kedua lututnya. Matanya menatap kosong ke arah depan.

Clara dan Lukanya (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang