13. Kilas balik

68 5 0
                                    

Happy reading..

Setelah kejadian di rumah sakit waktu itu, Clara dipaksa meninggalkan rumah oleh Ayah dan Kakaknya. Dokter Ari yang mengetahui hal tersebut langsung datang dan membawa keponakannya pergi dari sana.

Untuk beberapa waktu ke depan, Clara akan tinggal di rumah pamannya.

Setelah menerawang jauh seraya melewati malam-malamnya yang suram, Clara menyadari satu hal. Ada yang mengganjal dari kasus kematian Neneknya dan Kiara, adiknya.

Memang waktu itu ia tak ingin menyelidiki atau apapun karena ia masih terlalu kecil untuk hal-hal seperti itu. Tapi, seiring berjalannya waktu, Clara mulai mempertanyakan kejanggalan-kejanggalan itu.

Mungkin, ini saatnya ia menguaknya dan menunjukkan pada sang Ayah dan keluarga, bahwa dirinya tidak bersalah. Bertahun-tahun dirinya terus disalahkan, bertahun-tahun mentalnya dibunuh dengan lontaran kata-kata yang menyakitkan.

Ia akan berusaha dan mencari kebenarannya sendiri. Membungkam mulut-mulut mereka yang terus menyalahkannya tanpa mencari tahu hal apa yang sesungguhnya terjadi.

Keluarga sampah, takdir sialan, Clara tidak akan pernah berlutut! Apapun yang terjadi. Sudah cukup semua penderitaan yang gadis itu alami, dia bukan anak kecil yang lemah, yang tidak dapat melawan tuduhan-tuduhan itu lagi.

Clara mendongak menatap langit malam, tangannya memegang ujung pegangan balkon, gadis itu mencengkeramnya sembari beralih menatap hamparan kota yang dipenuhi lampu.

Udara berhembus sejuk, matanya menyiratkan sebuah pesan, kali ini.. Ia tidak akan kalah.

***

Clara turun dari mobil milik Dokter Ari. Setelah mengantarkan keponakannya, pria itu melajukan mobilnya menuju rumah sakit.

Clara berjalan melewati koridor menuju kelasnya. Pikirannya terus berkecamuk memikirkan hal apa yang akan Ia lakukan terlebih dahulu.

Gadis itu meletakkan tasnya, kemudian kembali berjalan keluar menuju belakang sekolah.

Clara duduk di kursi panjang yang sudah usang. Matanya menatap sekeliling, tangan gadis itu menumpu dagunya.

Jika diingat-ingat, kejadian itu sudah berlalu sejak beberapa tahun silam, yakni 7 tahun yang lalu, saat Clara masih berumur 10 tahun.

Saat itu, Kiara, adik Clara. Yang masih berumur 8 tahun sedang bermain bersama neneknya, Ratih.

Clara kecil menghampiri, kemudian memaksa hendak keluar rumah untuk membeli es krim. Saat itu, kedua orangtuanya sedang ada pekerjaan di luar negeri.

Nenek yang tidak tega karena Clara sudah menangis meraung pun dengan terpaksa menuruti permintaan cucunya. Meskipun, perasaan wanita tua itu tiba-tiba saja tidak enak. Seperti akan terjadi sesuatu, tapi ia dengan segera menepisnya.

Saat di perjalanan, Clara dan Kiara begitu bersemangat, Nenek yang semula khawatir menjadi sedikit lega melihat tawa dari kedua cucu perempuannya itu.

Tapi.. Rasa khawatir Nenek kembali muncul, saat melihat 2 mobil hitam mencurigakan yang sedang ikut melaju di belakang mobil mereka.

Pada waktu melewati tikungan yang cukup tajam, kedua mobil hitam mencurigakan itu tiba-tiba saja menabrakkan diri ke mobil yang kami tumpangi.

Takdir tetaplah takdir. Mobil yang ditumpangi Nenek, Clara, dan Kiara berguling hingga menabrak pembatas jalan. Detik berikutnya, terdengar suara ledakan dari mobil tersebut.

DUARR!!

Sempat terdengar suara tangisan dari Kiara saat kaki gadis kecil itu terjepit di pintu mobil. Sementara Nenek dan Clara telah tak sadarkan diri dengan badan yang dipenuhi luka bakar dan darah.

Tak lama kemudian, suara sirine polisi dan ambulan datang, mereka segera membopong tubuh-tubuh itu menuju rumah sakit.

Clao dan Maura yang mendengar kabar kecelakaan itu pun segera bergegas pulang dan meninggalkan meeting penting mereka.

Sesampainya di rumah sakit, Clao dan Maura segera menuju meja resepsionis dan menanyakan ruangan tempat Nenek, Clara, dan Kiara berada.

Namun, belum sempat masuk ke dalam ruangan tersebut, suster menyambut mereka dengan 2 jasad berselimutkan kain putih di atas brankar yang sedang didorongnya.

Maura menahan brankar tersebut, kemudian membuka kain putih tersebut. Tubuhnya luruh seketika saat melihat wajah pucat milik putri bungsunya, Kiara.

Clao membuka kain putih jasad yang ada di sebelah putrinya. Pria itu terdiam saat melihat Ratih yang sudah terbujur kaku di sana.

Maura menangis sejadi-jadinya, wanita itu terus saja memanggil nama putrinya, meminta Kiara agar bangun dan jangan meninggalkannya.

Begitupun dengan Clao, ia sangat berduka dan terpukul atas kepergian Ibu dan putri bungsunya.

Sementara Clara, saat itu ia dinyatakan koma.

Berhari-hari Clara terbaring di brankar rumah sakit bermodalkan alat monitor dan alat-alat yang membantu pernapasannya.

Saat itu, Maura dan Clao terus menjaga putrinya. Sampai suatu ketika.. Racala datang, dan mengatakan bahwa Clara lah penyebab kematian Nenek dan Kiara.

Racala yang sudah berumur 15 tahun waktu itu, mengatakan bahwa saat itu Clara lah yang memaksa Nenek dan Kiara untuk pergi membeli es krim bersamanya.

Clara lah yang harus disalahkan, karena jika saja gadis itu tidak meminta es krim, kemungkinan besar Neneknya dan adik bungsunya masih ada sampai sekarang.

Racala dendam, karena waktu itu ia juga hendak ikut namun Clara melarangnya, ia mendorong gadis itu hingga terjatuh.

Clara mengadu sambil menangis, dan berakhir ia dimarahi oleh sang Nenek karena membuat adiknya menangis.

Sejak saat itu, Clao dan Maura mulai membenci Clara dan menganggap bahwa Clara adalah penyebab kematian Nenek dan Kiara, juga gadis pembawa sial. Dan itu semua berlanjut sampai saat ini.

Clara menerawang jauh saat mengingat cerita itu kembali, cerita yang setengah ia ingat dan setengahnya lagi di ceritakan oleh Bi Ina.

"Dor!"

Clara tersentak kaget saat Riri menyentuh pundaknya secara tiba-tiba. Gadis itu mengelus dadanya sabar.

"Yahahaha kaget Ra? Maaf ya," tawa Riri cekikikan. Disamping gadis itu, ada Tania yang juga ikut tertawa melihat raut kaget Clara.

"Kalian ngapain di sini?" tanya Clara.

"Lah! Harusnya kita yang nanya, lo ngapain di sini? Tumbal proyek lu yak?!" tuduh Riri membuat Tania memukul lengannya pelan.

"Pala lu tumbal proyek!" sahut Tania.

"Gue cuma ngadem di sini, lagian masih belum bel juga kan." ujar Clara kembali menikmati semilir angin yang berhembus.

"Iya sih." balas Riri sembari duduk bergabung bersama Clara di kursi usang tersebut, diikuti Tania yang juga ikut menyusul untuk duduk.

***

Thanks udah baca, see you next time🕊🤍.



Clara dan Lukanya (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang