Hamparan laut lepas disertai nyanyian burung pelikan adalah dua hal yang Junkyu suka dari sekian banyak hal di dunia.
Berdiri di bibir pantai dengan gaun musim panas tanpa lengan, serta kaki telanjang yang disapu oleh arus ombak. Junkyu ingat dengan rasanya. Terlebih lagi rasa saat ia berada disana bersama keluarganya.
Ya, keluarga. Keluarga yang dimaksudnya adalah ayahnya, ibunya, dan dirinya. Jejak memori yang saat itu usianya masih di bawah 10 tahun masih tersimpan dengan baik.
Hanya itu memori indah yang masih Junkyu ingat tentang keluarganya secara utuh. Sebelum kebahagiannya dirampas oleh sifat dasar manusia yang teramat Junkyu benci.
"Hhh... apa yang kupikirkan? Ini masih pagi." Junkyu memijat pelipisnya, mencoba mengenyahkan pikirannya yang selalu terasa rumit.
Samar-samar Junkyu mendengar bunyi langkah kaki mendekat. Junkyu tak mendongak, ia lebih memilih untuk terus menetralkan pikirannya daripada melihat siapa yang datang.
Lagipula orang yang datang tidak akan jauh dari orang-orang yang ia kenal. Kalau tidak Jeon Hyerin, pasti kepala pelayan. Jika bukan keduanya, maka Park Jeongwoo adalah kemungkinan terkuat. Jika Park Jeongwoo juga bukan, maka satu nama terakhir yang tersisa hanyalah Lee Haruto.
"Kak Junkyu."
Salah, dugaan Junkyu semua salah. Suara yang terkesan dalam itu bukanlah milik orang-orang yang ia sebut sebelumnya.
Mendongak, Junkyu melihat seorang pria yang lebih muda darinya berdiri. Saat itupula, Junkyu membenarkan posisi duduknya, dimulai dari posisi badan, kaki, hingga kedua tangan yang ditumpuk di atas paha.
"Ada apa, Junghwan? Tumben kamu mencariku," ucap Junkyu, lembut dan tenang, seperti seorang kakak kepada adiknya.
"Paman baru saja menghubungiku dan berkata kalau malam ini orang-orang yang akan menangani pemindahan hak perusahaan akan datang ke rumah. Paman berpesan padamu untuk jangan pergi kemana-mana," tutur Junghwan, tenang tetapi cukup baku untuk berbicara kepada kakak sepupunya sendiri.
"Kenapa ayah tidak langsung memberitahuku saja?" Tak puas dengan jawaban Junghwan, Junkyu kembali melempari Junghwan pertanyaan baru.
Kedua maniknya membaca gerak-gerik Junghwan. Dimulai dari perubahan raut wajahnya, kedipan matanya, gestur tangan, badan, hingga kaki. Semuanya tak luput dari sorot mata datar milik Junkyu.
"Ponselmu tidak aktif." Jawaban sesederhana itu keluar dari mulut Junghwan, membuat Junkyu dengan cepat menoleh ke arah ponselnya.
Junkyu angkat benda pipih dengan harga puluhan juta itu, lalu tersenyum tipis.
"Kamu benar. Baterainya habis. Terimakasih ya sudah memberitahuku," ucap Junkyu, diakhiri senyum manisnya.
"Hn, kalau begitu aku pergi," kata Junghwan.
Junghwan berbalik badan, kemudian berjalan meninggalkan ruangan santai milik Junkyu. Akan tetapi, baru lima langkah ia berjalan, suara halus nan lembut milik Junkyu memanggil namanya.
Sebagai seorang adik sepupu yang patuh, Junghwan pun menoleh ke belakang.
"Aku ada satu permainan kecil untukmu. Ini permainan sederhana yang hanya mengandalkan satu buah koin." Junkyu berujar, lalu menunjukan satu buah koin ke arah Junghwan.
"Ada dua sisi yang berbeda. Satu gambar dan satu angka nominal. Silahkan pilih salah satu di antara keduanya," ucap Junkyu.
Dahi Junghwan pun mengerut. Pemuda itu lantas kembali mendekati Junkyu hanya dengan tiga langkah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Eagle and Marigold
Fanfiction[Cerita ini merupakan remake dari book THE EAGLE. Seluruh konflik sama, tetapi sebagian besar tokoh berubah) Eagle merupakan julukan untuk seorang pembunuh bayaran profesional bernama Watanabe Haruto. Terlahir dari keluarga bahagia, Haruto menjadi...