24

392 37 0
                                    




Dalam hidupnya, tidak pernah terbayangkan oleh Junkyu bahwa dirinya akan menjadi orangtua. Tidak pernah ia bayangkan di perutnya telah tumbuh malaikat kecil, buah dari dosa yang ia lakukan bersama Haruto, pengawal pribadinya sendiri.

Kecewa? Sangat, Junkyu sangat kecewa. Tetapi rasa kecewa itu bukan untuk janin dalam kandungannya, melainkan untuk dirinya sendiri yang terlalu hanyut dalam permainan yang ia buat sendiri hingga lupa untuk memikirkan akibat terburuk.

Lalu bagaimana sekarang? Apa yang harus Junkyu lakukan usai tahu bahwa ia sedang mengandung anak Haruto?

Belum tuntas rasa penasarannya pada pria itu, kini sudah ada beban yang harus Junkyu tanggung.

Lantas mengapa Junkyu tidak segera memberitahu Haruto? Bukankah seharusnya sudah menjadi kewajiban Haruto untuk bertanggung jawab?

Sayangnya Junkyu tidak akan melakukannya. Junkyu sadar apa yang sudah terjadi di antara mereka dimulai dari dirinya. Mau tidak mau, suka tidak suka, ia bertanggung jawab penuh atas janin ini.

"Agassi, kita sudah sampai." Lamunan Junkyu buyar usai suara husky milik Haruto terdengar.

Pandangan Junkyu pun tertuju pada pria itu, cukup lama sehingga membuat dahi Haruto berkerut.

"Agassi, anda baik-baik saja?" Haruto bertanya, membuat Junkyu seketika menoleh ke arah lain.

"Aku tidak apa-apa. Terimakasih sudah menemaniku," ucap Junkyu disertai senyum.

Saat Junkyu hendak membuka pintu mobil, tiba-tiba sebuah tangan dengan permukaan telapak yang sedikit lebih kasar menahan tangan Junkyu.

Reflek Junkyu menoleh ke arah Haruto selaku orang yang menahannya turun dari dalam mobil.

"Agassi, saya ingin meminta maaf atas apa yang terjadi pada kita semalam. Lagi-lagi saya kehilangan kendali. Anda boleh marah pada saya, anda boleh benci pada saya, jangan anda tahan perasaan anda bila anda merasa apa yang sudah saya lakukan menghancurkan harga diri anda," tutur Haruto.

Mendengar itu, hela nafas tipis mengudara dari celah bibir Junkyu. Dipegang Junkyu tangan Haruto, kemudian melepasnya dari tangannya.

"Bicara tentang harga diri, kamu tidak perlu memikirkannya. Harga diriku sudah lama hancur, Haruto, bahkan sejak aku berusia 12 tahun. Jadi jangan merasa bahwa yang kamu lakukan telah menghancurkan harga diriku. Dan lagi, soal semalam... kita sama-sama sudah dewasa, bukan hal lumrah lagi di negeri ini bila kita melakukannya di luar tali pernikahan atau tanpa status. Jadi anggap saja angin lalu, aku tidak mau pusing memikirkannya," jelas Junkyu.

Haruto diam usai mendengar semua perkataan Junkyu. Diamnya bukan berarti ia senang. Justru sebaliknya, kini Haruto merasa bersalah. Entah dalam skala yang besar atau kecil, Haruto tak bisa membedakannya.

Di luar konteks bahwa Junkyu adalah musuhnya, sebagai seorang pria, Haruto tentu masih memiliki sisi bersalah karena sudah menjadikan Junkyu sebagai pelampiasan.

Selain itu, Haruto mengkhawatirkan satu hal. Haruto khawatir bila perbuatannya akan menimbulkan masalah baru seperti hadirnya seorang anak yang harus ia pertanggung jawabkan.

Tidak! Haruto tidak akan sudi mengakui anak itu bila dia benar-benar ada. Tidak ada dalam rencana hidupnya bahwa ia akan memiliki seorang anak, terlebih lagi anak dari putri seseorang yang sudah menghabisi nyawa keluarganya.




Eagle and MarigoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang