"Ibu akan menyelamatkanmu sayang, kau tenang ya. Kau anak ibu yang paling baikkan?" Hae-seo berjalan di pasar dan ia tidak tahu itu entah ke mana, ia hanya mengikuti langkah kakinya dan memilih pergi dari tempat tadi.
Jujur saja, perkelahian tadi membuatnya merasa takut dan ingin menangis. Tak jarang saat di jalan Hae-seo menarik rambutnya sekuat mungkin agar rasa sakit itu hilang.
Banyak orang yang lari ketakutan begitu melihatnya, apalagi saat Hae-seo memeluk boneka itu kuat dan berteriak ke segala arah. Seperti saat ini yang dia lakukan.
"JAUHI ANAKKU!"
"JANGAN SENTUH ANAKKU!"
"KALAU BUKAN KARENA DIRIMU AKU PASTI TIDAK AKAN SEPERTI, DASAR PRIA TIDAK BERGUNA! SEHARUSNYA KAU TIDAK USAH HIDUP DI DUNIA INI SIA*AN!" Hae-seo berteriak seperti itu ke salah satu anak remaja yang sedang berdiri seraya meminum susu. Remaja tersebut mengernyit heran dan menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi kaget.
"Apa salahku?"
Hae-seo terus berjalan dan tidak peduli dengan sekitarnya, tak lupa teriakan yang ia berikan untuk siapapun membuat semua orang semakin takut dan ada yang miris. Bagi beberapa perempuan mereka merasa kasihan dengan Hae-seo, segitu bertnyakah beban Hae-seo?
***
Daniel dengan temannya bersenang-senang di hari libur. Tentu saja Mira sudah tidak ikut, tidak seperti hari itu. Hari yang harusnya bersenang-senang berubah menjadi hari yang kelam.
"Aku menyukai salah satu wanita," ujar Daniel dengan wajah serius.
"Tidak mungkin kau suka dengan pria, itu artinya kau tidak normal!" Daniel mendelik sinis. Ucapan temannya sungguh tidak berguna untuk dikeluarkan.
"Lalu kenapa kau tidak mengatakannya saja? Pasti lebih cepat lebih baikkan?" ujar temannya. Daniel menggeleng dan terkekeh miris, andai saja dia duluan mungkin semuanya tidak akan seperti ini.
"Dia sudah mempunyai pacar," jawab Daniel lesu. Ingin rasanya Daniel berteriak sekuat mungkin karena wanita yang ia cintai telah dimiliki orang lain, terdengar berlebih memang tapi Daniel sempat stress memikirkan itu semua.
"Pacarnya orang kaya," lanjutnya lagi.
"Oh, aku paham sekarang. Memang perbedaan ekonomi kadang membuat seseorang merasa terpojok dan tidak pantas untuk siapapun."
Daniel tidak menjawab, ia lanjut memakan corndognya meski dengan rasa yang sangat malas. Corndognya yang enak itu terasa pahit saat Daniel mengingat semuanya.
"Jihoon, aku sekarang harus bagaimana?" Seseorang yang dibilang bernama Jihoon itu terdiam. Mulutnya sibuk mengunyah makanan sampai tidak sanggup untuk menyahut ucapan temannya.
"Tinggalkan, lupakan, ikhlaskan, palingan kalau jodoh bakal bersatu lagi," jawab Jihoon. Daniel lagi-lagi mendengkus, jawaban yang tidak pernah diharapkannya ternyata ke luar dari mulut Jihoon.
"Mulai sekarang berpikir bagaimana cara punya uang yang banyak, supaya kau tidak merasa tertinggal hanya karena ekonomi. Tapi setelah sukses nanti, jangan juga anggap semua perempuan itu rendahan. Uang yang kau miliki belum tentu bisa mendapatkan mereka semua, yang ada nanti kau dijatuhkan dan dihina karena kesombonganmu. Ingat, kita hanya anak orang miskin yang berjuang untuk membahagiakan orang tua kita."
Daniel termenung mendengar ucapan Jihoon, benar-benar sungguh memotivasi. Ternyata temannya ini berguna juga. Daniel kemudian tersenyum lebar dan memeluk Jihoon dengan kuat.
"AKH! PELAN-PELAN BODOH!" seru Jihoon.
"Terima kasih Jihoon sih, kalau kau wanita mungkin aku sudah mengajakmu berpacaran denganku. Mari bertemu dengan jenis kelamin yang berbeda di kehidupan selanjutnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST A HOUSE! (END)
FanfictionSemuanya hancur, semuanya telah direnggut. Harga diri yang dijaga puluhan tahun lamanya sudah dirobek oleh pria yang tidak dikena. Masuk ke kehidupan Hae-seo sebagai suami, tapi sama sekali tidak menjalankn tugasnya dan kewajibannya sebagai suami. H...