Bab 24

133 19 0
                                    

"Cih, anak itu sungguh jahat!" Daniel terkekeh sendiri mendengar gerutuan Hae-seo. Malam ini sedang hujan, hujan yang deras dan suara yang begitu merdu untuk menjadi lagu pengantar tidur.

Mira sedang pergi ke supermarket belanja bahan makanan, tinggallah mereka berdua di dalam rumah. Daniel yang mengerjakan tugas sekolahnya dan Hae-seo yang menonton televisi.

Sesekali Daniel melirik kakaknya itu, agak berjaga-jaga supaya tidak terjadi apapun. Mira sendiri duduk di depan televisi dengan cemilan yang ada di tangannya.

Terbesit di pikiran Daniel, apakah Soyeol tidka mencari kakaknya ini? Sampai sekarang bahkan tidak ada tanda-tanda Soyeol akan berkunjung.

"Boneka?" gumam Soyeol. Daniel melirik sekilas dan kembali mengerjakan tugas sekolahnya.

Anak itu tidak sadar bahwa saat ini Soyeol sedang merasakan pusing yang luar biasa. Tangannya memegang kepalanya sendiri dan rambut indah itu ditarik sekuat mungkin.

"Aaaa!" Bayangan itu berputar kembali, semuanya benar-benar menyiksa. Selalu seperti ini dan Hae-seo merasa tidak tahan, Jay yang menyiksanya, bertemu dengan Leo saat dia hamil, disayangi oleh Jake, Soyeol dan yang lainnya.

Tak lupa dengan bisikan-bisikan yang membuat telinga Soyeol berdengung. Bisikan yang berkata bahwa anaknya hanyalah boneka dan dia dikatai gila oleh batinnya sendiri.

Daniel menarik tangan Hae-seo dan membantu menenangkannya. Sungguh Daniel tidak tahu apapun tentang semua penyakit Hae-seo. Ibunya tidak ada di rumah dan cuaca dilanda hujan, ke mana dia akan mencari bantuan?

Sedangkan Hae-seo masih bergelung dengan pikirannya, kekerasan dan Jay dan kasih sayang dari Jake menabrak otaknya dengan begitu keras. Senyuman dari Jake dan tatapan sinis dari Jay seolah-olah menyiksa batinnya.

"Kau jahat Jay!" Ucapan terakhir Hae-seo dan akhirnya ia pingsan. Daniel dengan sigap menangkap tubuh itu dan membaringkannya di atas sofa. Daniel benar-benar gelisah dan berdoa banyak-banyak semoga kakaknya baik-baik saja.

***

"Sudah kukatakan untuk menolak tawaran itu tapi kau tetap menerimanya, ya sudah rasakan konsekuensinya!"

Jake berdecak kesal mendengar ocehan Leo. Malam ini Jake memutuskan untuk pergi sebentar dari rumah itu, pikirannya ingin tenang tapi datang ke sini ternyata hanya membawa bencana bagi otaknya.

"Diamlah! Aku sedang tidak ingin mendengarkan ocehan mu!" ketus Jake. Leo berdecih sinis dan kembali meminum kopi yang ada di tangannya.

"Pulanglah kembali ke Australia? Jadilah dokter di sana dan tinggalkan negara ini untuk selamanya," usul Leo.

Jake kurang setuju dengan ucapan Leo, meninggalkan tempat ini? Dengan kondisi ia sedang mempunyai tanggung jawab besar? Hey, Jake tidak segila itu.

"Aku bukan pecundang yang selalu lari dari tanggung jawab, aku bukan dirimu!" cacinya. Bukannya merasa sakit hati, Leo malah terkekeh senang.

"Pujian yang bagus Jake, aku suka mendengar itu. Seharusnya kau mengatakan itu setiap hari kepadaku, " sahut Leo.

Jake tidak menjawab, ia memikirkan bagaimana mencari Hae-seo dan membawany kembali ke rumah itu. Jake tidak ingin diusir dari rumah keluarga Park, ia masih ingin bertemu dengan Hae-seo karena sebenarnya Jake sudah mulai ada rasa terhadap Hae-seo.

Tidak tahu kapan muncul tapi rasa ingin melindungi itu tercipta dengan sendirinya. Ini bukan lagi tentang pasien dan dokter, tapi tentang ke dua manusia yang dipertemukan oleh takdir pahit yang mungkin akan berujung pahit juga.

"Kau melamun?" tegur Leo. Dari tadi pria itu berbicara tapi Jake sama sekali tidak mendengarkannya, sungguh hal yang sangat Jake benci.

"Tidak, aku hanya terdiam saja,' jawab Jake. Leo mendengkus dan berlalu dari hadapan Jake. Dari pada menanggapi omongan pria itu, lebih baik ia bekerja saja.

"Tidak, aku pasti salah. Ini hanya rasa nyaman karena aku sudah lama merawatnya dan bahkan sudah tahu semua kebiasaannya,"  gumam Jake. Pria berumur dua puluh lima tahun ini pusing sendiri. Tidak tahu apakah semua perasaan ini akan menetap atau hanya sekedar singgah.

"Kau mencintai istri orang?" Leo mengatakan itu sambil menahan tawa, Jake menatap Leo tajam tapi Leo tidak pernah takut sekalipun dengan sepupunya ini.

"Aku tidak menyukainya, dia pasienku dan aku bertugas untuk merawatnya. Dia sudah punya suami, aku paham di mana letak posisiku!" Jake mengatakan itu dengan wajah kesal, karena ucapan Leo agak menampar telak dirinya saat ini.

Leo menahan tawa, ia meletakkan laptop yang dipegangnya tadi ke atas meja dan duduk lesehan di lantai. Matanya menatap ke arah Jake yang sedang terbaring di sofa.

Ia benar-benar menahan tawa mendengar ucapan dokter ini. "Kau hanya masih ragu dengan apa yang kau rasakan, aku yakin seiring berjalannya waktu ... rasa itu bukan lagi sekedar suka tapi lebih dari itu, pastikan memang perasaanmu itu dan cepat berhenti kalau kau merasa semua itu adalah kesalahan. Kau harus ingat, Hae-seo sudah punya suami dan kau masih bisa mencari wanita lain di luar sana."

Memang agak panjang kali lebar ucapan Leo saat ini, tapi percayalah bahwa Jake mendengarkan semua ucapan Leo. Bukan hanya karena kalimat yang mendalan tapi juga atas kekagumannya terhadap Leo yang ingin berbicara banyak. Biasanya Leo hanya akan berbicara singkat saja.

Jake langsung dan tepuk tangan dengan tatapan kagum, kepalanya digeleng-gelengkan dengan wajah yang gembira.

"Ada apa denganmu? Apa ucapanku ada yang salah?"

Jake menggeleng. "Aku baru kali ini mendengar ucapan sepanjang itu dari mulutmu, apa kau sedang gembira saat ini?" tanya Jake dengan senyum mengejek.

Leo yang mendengar itu menggeram kesal, ia sudah berbicara banyak dan dibalas seperti ini oleh Jake. Huh! Leo sungguh tidak menyukainya.

"Dasar manusia tidak berguna, aku sudah berbicara panjang lebar dan seharusnya kau berterima kasih bukan membalas seperti tadi. Ingin rasanya aku membunuhmu sekarang juga! Lebih baik sekarang kau pergi dan cari Hae-seo sampai dapat! Pergilah!" usir Leo.

Bukannya sakit hati, Jake malah fertawa keras dan keluar dari rumah Leo. Masih dengan tawa yang menggelegar membuat Leo semakin kesal dan membanting pintu rumahnya.

"Ke mana aku harus mencari wanita itu?" gumam Jake. Tertawa di dalam rumah Leo bukan berarti dia akan kembali tertawa saat di luar, kepalanya sudah ingin pecah karena memikirkan Hae-seo yang tak kunjung dapat.

***

"Aku ikut bahagia melihat anak-anak itu." Jisung menatap anak-anak itu yang sedang bermain dengan tawa penuh kebahagian. Bukan lagi tawa untuk menutupi kesedihan.

"Aku juga, aku berharap ... aku mampu membiayai mereka semua sampai akhir hayatku," jawab Sunghoon. Akhirnya dengan semua usaha dan kesusahan yang ia lewati, anak-anak panti asuhan itu kembali punya rumah. Bahkan lebih baik dari yang dulu.

"Kau pasti mampu, niat baik pasti akan selalu berjalan baik dan lancar. Tidak usah takut, aku sekarang ikut membiayai anak-anak yang ada di sini." Sunghoon hanya bisa tersenyum, mempunyai teman seperti Jisung memang sebuah keberuntungan.

"Sunghoon aku ingin bertanya tapi kau jangan tersinggung." Sunghoon yang sedang menatap anak-anak itu kini beralih ke arah Jisung.

"Silahkan, sebisa mungkin kutahan utnuk tidak tersinggung," jawabnya.

"Apa kau tidak ingin menikah lagi?" Sunghoon sempat terdiam lama mendengar itu, Jisung sudah was-was dan menyesal karena sudah mengatakan itu semua. Harusnya ia mengunci mulutnya tadi.

"Tidak, siapa yang ingin dengan laki-laki mandul sepertiku. Aku sudah tidak ingin mengenal wanita lagi, biarkan saja hidupku seperti ini. Aku yakin ini yang terbaik, aku tidak masalah jika tidak punya anak, karena sekarang susah ada anak-anak yang kuanggap seperti anakku sendiri."

"Untuk anak kandung, aku sudah tidak memikirkannya lagi dan berusaha untuk menerima kekurangan yang aku punya, aku tidak tersinggung sedikitpun dengan perkataanmu. Tidak usah merasa tidak enak, aku pergi dulu."

Sunghoon menepuk bahu Jisung dan bermain dengan anak-anak di sana. Melihat itu membuat Jisung merasa sedih dan kagum, pria itu benar-benar kuat menghadapi ujian hidupnya.

20 Nov 2022

23.54 wih

See you💙

JUST A HOUSE! (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang