Aeera sungguh tak sanggup rasanya jika diminta menatap sang putri yang tersenyum tanpa rasa bersalah. Berkacak pinggang sambil melihat ke langit-langit rumah, antara ingin marah juga pasrah. Napas memburunya pun belum reda sejak Latu masuk dengan penampilan baru juga penjelasan singkat yang baginya kelewat konyol.
"Mas, apa ini masuk akal?" Aeera menatap Maruta sekali lagi. Lelaki yang berusia di pertenganhan 40-an itu masih tenang. Bibirnya menyunggingkan senyum teduh, membuat Aeera semakin frustrasi. "Mas ...."
"Tuh, Ma. Ayah aja nggak masalah sama keputusan aku." Sambil cengengesan Latu membalas, diikuti kerlingan jahil saat beralih menatap sang ayah.
Mata Aeera tak bisa tak melotot, menajam saat menghujani sang putri semata wayang dengan sorot laser. "Latu, masalahnya ini kamu tinggal sidang, loh. Dikit lagi lulus. Kamu malah mau mundur dan ambil cuti? Perjuangan kamu akan sia-sia, Latu."
Perempuan itu sungguh kehabisan akal memikirkan putrinya. Terlebih saat gadis itu menggeleng santai seraya menjawab, "Latu nggak akan hidup dalam penyesalan, Mama. Apalagi cuma perkara nunda lulus yang prosesnya bahkan nggak buat Latu stress."
Aeera akui, anak itu tahan banting luar biasa. Tak sepertinya dulu yang sering mengeluh saat skripsi, bahkan sering menangis hanya karena revisi berulang kali. Latu sangat santai mengerjakan tugas akhirnya, sama sekali tak tertekan. Jiwa Maruta benar-benar mendominasi anak itu. Namun, tetap saja.
"Latu ... Latu. Mama beneran nggak habis pikir sama kamu." Sekali embusan napas panjang lolos sebelum Aeera melanjutkan, "Oke, tapi ingat satu hal. Kalau kamu mau lanjut nanti, Mama udah nggak mau tahu masalah biaya. Mama udah pernah bilang, kan?"
"It's ok, no problem, kok. Tinggal nyari suami aja ntar yang mau biayain kuliah Latu."
Bagaimana Aeera tak ingin mencak-mencak menghadapi putrinya itu? Hukum semesta tampaknya tengah membalas Aeera dengan apik atas tindakannya waktu muda dulu, lewat Latu Ja Wretika.
Setelah beberapa kali menggelengkan kepala dibarengi tawa geli, Maruta akhirnya membuka suara, "Kamu apain rambut kamu?"
Gotcha! Itu dia yang ingin Latu dengar setelah memasuki rumah. Dengan senyum kelewat lebar, sambil meraih sejumput rambut panjang terurainya di bagian depan, perempuan itu menjawab, "Bagus kan, Yah? Latu udah lama pengen warnain kayak gini, baru kesampaian."
Tuhan ... selamatkan Aeera dari keinginan membenturkan kepala pada dinding. Semakin kesal dengan sang putri, ia semakin menyadari bahwa mereka berdua sejatinya sangat mirip. Baiklah, anggap saja anak itu mewujudkan keinginannya yang tak pernah terkabul dulu, karena berbagai alasan. Rambut Latu yang semula legam seluruhnya sudah berubah sebagian. Sedikit uraiannya berwarna pink, menjadi two-tone.
"Bagus itu perkara subjektivitas, Latu. Kalau menurut kamu itu bagus, pendapat orang lain sudah tidak penting lagi." Di akhir kalimat, Maruta memposisikan duduknya lebih nyaman, bersandar pada sofa.
Latu mengacungkan jempol, tersenyum lebar hingga matanya sisa segaris. "Ayah emang luar biasa."
Tak berhenti di sana, gadis itu lantas mendekati Aeera, memberikan pelukan hangat dari samping. Ia lantas berbisik tepat di samping telinga sang ibu yang tertutup jilbab, "Mama juga. Love you both."
-o0o-
Kangen nggak sih sama Aeera? Hahaha.
Hello, Amaranteya di sini. Tiba-tiba publish cerita baru padahal cerita lama belum kelar, udah biasa🤣
Fyi, cerita ini adalah project Ramadan yang kurencanakan akan menemani ngabuburit kalian. Yaps, one day one chapter. Udah sejak jauh-jauh hari aku buat stok part yang udah cukup sampai 2/3 Ramadan, jadi masih cukup aman. Kecuali kalau lupa up.
Part 1 di-publish menyesuaikan hari pertama Ramadan.
Hope you enjoy dan mari tenggelam bersama Latu dkk.
Amaranteya
22nd of March 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Ehipassiko
General FictionApa yang bisa dikukuhkan lewat pemahaman dogmatis? Tak ada, setidaknya begitu menurut Latu. Perempuan berjiwa bebas itu tak menemukan urgensi dari beragama--atau mungkin belum. Menjadi mahasiswi Sastra Jawa barangkali menjadi salah satu jalan baginy...