Sudah berulang kali Latu menonjok udara, melampiaskan kesal tak karuan. Ah, Yita betul-betul membuatnya frustrasi. Sore ini, ia bak tengah dipingit, tak boleh ke mana-mana oleh sang mama. Andai bisa, ia akan kabur ke tempat Gavin, tetapi apa mau dikata, Latu tak berani menghadapi amukan Maruta jika nekat. Begitu-begitu, sang ayah amat menyeramkan jika sudah mengeluarkan suara dinginnya.
Kopi dua cangkir yang sudah tandas tak berhasil membuatnya tenang, tergeletak begitu saja di meja teras kamar. Suasana senja, Yita, juga Kinnaja tampaknya bukan kombinasi bagus untuk perasaannya sore ini. Ia harus bagaimana?
Hendak berbalik ke kamar, Latu dibuat membisu setelah berputar 90 derajat. Di sana, dari arah depan, berdiri Kinn dengan senyum sedih. Ia balas menatap lelaki itu dalam.
"Mas Kinn," lirih Latu.
Latu bisa melihat dengan jelas, lelaki itu menitikkan air mata meski langsung menunduk, menutupinya. Ia tak ingin melangkah mendekat, biar Kinn saja, pikirnya. Barangkali ia juga tak akan sanggup.
Setelah kembali mengangkat wajah, Kinn yang tampak lebih tegar berjalan ke arah Latu. Sengaja berhenti tepat selangkah dari perempuan itu.
"Mas," panggil Latu tak kalah lirih dari sebelumnya. Suara gadis tersebut sarat kesedihan. Sungguh, ia tidak ingin menyakiti hati sang kakak terlepas dari sikapnya selama ini. Ia menyayangi lelaki itu.
"Benar tidak ada kesempatan untuk Mas, Tu?" Kinn terkekeh miris.
"Ma-maksud, Mas?" Latu ingin pura-pura tidak tahu jika lelaki itu menyimpan rasa untuknya. Dia hanya ingin semua baik-baik saja.
"Jangan pura-pura, Tu. Kamu sudah tahu apa maksudku. Jika saja hari itu aku tidak meminta tolong pada Yita memberikan edelweissku padamu, apa semua akan seperti ini?"
"Mas Kinnaja." Latu berusaha menghentikan lelaki di depannya.
Sekali lagi kekehan miris Kinn terdengar.
"Tidak! Tanpa Yita, mungkin sampai sekarang aku akan tetap jadi pengecut yang jatuh cinta pada adiknya sendiri. Lagipula, aku tidak tahu diri ya, Tu? Ayah dan mama kamu sudah sangat baik mengasuhku, membawaku bersama mereka sebelum aku terlunta-lunta jadi gembel di luar sana, mereka membantu mengurus pemakaman ayah kandungku, membiayai seluruh kebutuhanku. Aku memang sangat tidak tahu diri karena malah mencintai putri tunggal mereka. Aku benar-benar tidak ta—"
"Mas Kinn, Mama sama Ayah juga orang tua Mas Kinn. Lagipula nggak ada yang salah dari jatuh cinta," potong Latu cepat.
Kinn segera menggeleng. "Bagaimanapun, aku bukan anak biologis mereka dan—"
"Maaf."
Tindakan Latu selanjutnya membuat Kinnaja membulatkan mata, seluruh saraf dan jantungnya rasanya berhenti berfungsi karena tangan Latu sudah melingkupi tubuhnya, menenggelamkan wajah dalam dada bidang Kinn. Lagi-lagi, setetes air mata luruh dari mata lelaki itu.
Kinn mematung dengan hati mencelos, tetap tak bisa memproses apa yang terjadi, kepalanya seketika kosong. Latu ... memeluknya. Allah, rasanya sangat menenangkan saat jemari Latu mulai mengusap punggungnya. Apakah larang-Mu selalu bisa semembuai ini jika dilakukan? Pantas banyak orang di luar sana melakukannya, melakukan larangan-Nya.
Meski alarm bahaya sudah berdering kencang di telinga Kinn, sungguh, kali ini ia tak berniat mengurai pelukan seorang Latu Ja Wretika. Kali ini saja, kali ini saja ia akan membiarkan dirinya terbuai oleh dosa.
"Aku sayang Mas Kinn sebagai masku. Aku mohon, jangan meminta yang lain, Mas. Aku nggak bisa." Runtuh sudah pertahanan Latu, ia terisak masih dalam posisi yang sama. Kegelisahannya sejak kemarin-kemarin benar-benar tumpah sore ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ehipassiko
General FictionApa yang bisa dikukuhkan lewat pemahaman dogmatis? Tak ada, setidaknya begitu menurut Latu. Perempuan berjiwa bebas itu tak menemukan urgensi dari beragama--atau mungkin belum. Menjadi mahasiswi Sastra Jawa barangkali menjadi salah satu jalan baginy...