Ini masih berat, tahan.
-o0o-
Hanya sekali mereka beristirahat setelah berkendara tiga jam tadi. Yita langsung tancap gas agar sampai di rumah tak terlalu molor dari perkiraan, apalagi keadaan jalanan malam begini lumayan lengang. Enak dipakai berkendara. Untung juga Latu tahan kantuk. Bahkan perempuan itu tampak masih amat sangat segar saat sampai di pekarangan rumah Yita.
Waktu menunjukkan pukul 00.28 WIB saat keduanya betul-betul sampai di rumah Yita. Sampai di sana, sudah tampak Ikhtar yang menunggu di teras, Latu memang sempat mengabari bahwa mereka hampir tiba tadi, atas permintaan Yita.
"Kalian langsung bersih-bersih habis itu istirahat." Zaa muncul dari dalam rumah, rupanya wanita itu juga menunggui sejak tadi, membuatkan minuman hangat untuk sang putra juga Latu. "Latu pakai kamar tamu yang kemarin, ya. Sudah Mama bersihkan."
Gadis itu mengangguk sembari tersenyum lebar. "Makasih, Mama Zaa." Latu lantas mendekat, berbisik, "Subuh nanti, bisa tolong bangunkan Latu kalau alarmnya nggak mempan?"
Zaa terkekeh seraya mengelus pelan kepala samping Latu. "Iya."
Latu beranjak setelah pamit pada Zaa juga Ikhtar, meninggalkan Yita bersama orang tuanya.
"Ma, Pa." Panggilan Yita sukses mengalihkan fokus keduanya. "Can we have a lil talk now? I've something to say and I can't stand it anymore. I can't wait any longer." (Dapatkah kita berbicara sekarang? Ada yang harus aku katakan dan aku tidak bisa menahannya lagi. Aku tidak bisa menunggu lebih lama)
Ikhtar memandang sang putra sangsi. Tak pernah anaknya terlihat seserius itu sebelumnya. Paling, Yita hanya akan menampilkan ekspresi datar jika mereka tengah berdiskusi.
Untuk sejenak, Zaa dan Ikhtar saling pandang, bertukar tanya lewat tatap mata.
"Di ruang kerja Papa, bisa?"
Ikhtar mengangguk.
Setelah sampai di ruangan yang tak terlalu besar itu, Ikhtar mengambil tempat duduk di sofa single, sedang Yita dan sang mamanya duduk berdampingan di sofa double.
"Jadi, ada masalah?" tanya Ikhtar.
"I want you both to come to Latu's house before I go to Toronto." (Aku ingin kalian berdua datang ke rumah Latu sebelum aku pergi ke Toronto)
Meski terkejut, Zaa dengan cepat menguasai air muka, tak seperti sang suami yang tetap sangat tenang. Lelaki itu malah menyunggingkan senyum lebar.
"Sudah Papa duga." Ikhtar membalas santai. Lelaki yang semula duduk tegak itu bersandar pada sofa. "Tell me, kamu tidak melakukan hal yang merugikan selama pergi dengan Latu kan, Dayita?"
Raut muka Yita langsung berubah sengit, berada pada mode defensif. "Papa, you know me well, I wouldn't do that stupid thing. Aku menghargai Latu sebagaimana aku menghormati Mama, Tante Nuha, dan aku tentu akan melindungi dia seperti aku melindungi Daneen dan Rora. Tentunya, dalam porsi yang berbeda." (Kamu mengenalku dengan baik, aku tidak akan melakukan hal bodoh itu)
Mengakhiri kalimatnya, Yita mengembuskan napas panjang. Omong-omong, dua nama terakhir yang ia sebut adalah sepupunya, kakak-beradik, dua anak perempuan Laith dan Nuha: Daneen Athirah dan Arorangi Laiqa.
"I know, Papa hanya bercanda, Dayita," elak Ikhtar, tetapi memang begitu adanya. Ia sengaja memancing sang putra dan responsnya cukup di luar dugaan. Yita tak setenang biasanya.
"Kamu terburu-buru, Yita. Apa ada alasan tertentu?" sambung Zaa.
"Mama ingat Kinnaja? Seniorku." Setelah mendapati anggukan, Yita melanjutkan, "Dia kakak angkat Latu and he loves her. Om Maruta tahu dan ... membiarkannya, he even lets Kinnaja to make an effort to steal her. Aku tidak bisa diam saja, Mama." (Dia bahkan mempersilakan Kinnaja untuk berusaha mencurinya)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ehipassiko
General FictionApa yang bisa dikukuhkan lewat pemahaman dogmatis? Tak ada, setidaknya begitu menurut Latu. Perempuan berjiwa bebas itu tak menemukan urgensi dari beragama--atau mungkin belum. Menjadi mahasiswi Sastra Jawa barangkali menjadi salah satu jalan baginy...