36. Hakikat Salat

131 27 15
                                    

Hello, aku mohon, beberapa part ke depan mulai part ini akan lebih baik kalau kalian baca dalam keadaan yang benar-benar luang. Jangan baca pas lagi capek juga. Agak riskan soalnya. Jangan ditelan mentah-mentah, kosongkan kefanatikan, karena pengupasan masalahku bukan berfokus pada sisi syariat. Enjoy.

-o0o-

Entah kejutan apa lagi yang akan diberikan Latu hari ini. Setelah meninggalkan Yita penuh tanya tadi, kini perempuan itu lagi-lagi membuatnya menjatuhkan rahang bawah, menganga sempurna. Angin Kudus sore itu juga seolah mendukung Latu membuat Yita tak mempercayai penglihatannya sendiri.

Di sana, di tempat awal Latu meminta Yita menunggu, dengan pakaian yang sudah berubah, Latu tersenyum amat lebar.

"What's happening actually?" Yita menautkan alis kuat saat berhasil mendekat, berdiri tepat di hadapan perempuan itu. Matanya meneliti Latu dari atas ke bawah, dari ujung rambut two-tone hingga ujung sepatu. "Why did you change your clothes?"

Bukannya Yita tak senang dengan perubahan ini, tetapi ini sangat aneh. Bayangkan saja, kaos berbalut jaket Latu sudah berganti dengan gamis panjang maroon dengan list merah muda di sepanjang tepi jahitan, berkibar pelan pada bagian depan yang menyerupai outer. Di kepalanya, masih bertengger selendang yang Yita belikan di Demak tadi, disampirkan sekenanya.

"Does it look nice?" tanya Latu, sengaja berputar tanpa peduli sekitar.

"It looks nice but ... kenapa, Latu?"

Sekali lagi Latu tersenyum sebelum menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Ia menyandarkan tubuh pada pagar besi di belakangnya, lantas menatap sekeliling tenang. "Tadi ada anak kecil yang menghampiri saat aku menangis, Ta. Lucu banget. Katanya, la takhaf wa la tahzan. Aku langsung mikir, pasti orang tuanya luar biasa sampai anak sekecil itu bisa paham sama kalimat itu. Dan sesuai dugaan aku, ayah dan ibunya kelihatan sangat paham agama. Ibunya bercadar, Ta."

"Lalu?" tanya Yita, "apa hubungannya dengan perubahan kamu ini? Jangan bilang karena kamu ingin terlihat sama seperti perempuan itu, Latu."

Ujung-ujung bibir Latu kembali terangkat, menoleh ke arah Yita lalu menggeleng. "Nggak, nggak ada sama sekali niat buat terlihat sama kayak perempuan itu. Aku mulai mikir Ta, ucapan kamu masalah jilbab di BRT pagi itu, juga aku nggak tahu kenapa, ada bagian dalam diri aku yang rasanya mulai memberontak dari aku yang biasanya setelah melihat anak tadi."

Yita ikut menyandarkan tubuh di pagar besi rendah sebelah Latu, menikmati suasana senja Kota Kretek juga isi kepala yang masih penuh tanya.

"Kamu bilang, dengan alasan belum siap hingga kebebasan berekspresi dan berpenampilan, banyak muslimah lupa bahkan sengaja pura-pura lupa, bahwa menutup aurat adalah wajib hukumnya. Kami—sebagai muslimah—sengaja mencari pembenaran atas ketidakpatuhan kami akan kewajiban.

"Seperti penganalogianmu, aku juga berpikir masalah salat, Ta. Dengan alasan belum siap atau ingin melakukannya tanpa paksaan, apa artinya aku boleh meninggalkan salat barang sekali? Nggak! Kewajiban tetap kewajiban, enggak peduli aku udah siap atau belum, kan?

"Aku mulai skeptis dengan anggapanku sendiri selama ini bahwa how I dress up is not for pleasing others, but for pleasing myself. Dari anggapan itu aku sadar, sikap keakuanku masih sangat tinggi, Ta. Aku lupa bahwa bagaimana aku berpakaian, bertindak, bagaimana aku membawa diri, iya memang aku punya kebebasan atas itu, tapi aku lupa, hakikat kebebasan itu adalah saat aku menyadari betul bahwa ada batas-batas yang memang harus aku perhatikan."

Tunggu! Apa Yita tak salah dengan pendengarannya? Pandangan yang semula menyapu sekeliling terfokus pada Latu seketika.

"Latu ...."

EhipassikoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang