Empat orang itu duduk canggung di salah satu kedai makan. Hening menguasai selama sepuluh menit penuh, sampai embusan napas kasar lolos dari bibir salah satu perempuan yang baru menyusul. "Can you guys tell me what's going on? I am really like a dumb now. It's weird when three of you actually have to say hi and do nostalgic thing together but in fact, you guys just stay silent all the time."
(Bisakah kalian memberitahuku apa yang sedang terjadi? Aku seperti orang bodoh sekarang. Ini aneh saat kalian bertiga yang harusnya saling sapa and nostalgia, kenyataannya hanya diam)
"Siapa nama kamu tadi?" Kinn bertanya kemudian.
"Zeynab," jawabnya cepat.
Kinn menghela napas kasar. Kenapa jadi begini? "Do you mind if we leave them both? Mereka butuh ruang untuk bicara berdua." (Apa kamu keberatan jika kita meninggalkan mereka berdua?)
Zeynab menatap Latu sangsi, tak yakin meninggalkan dua manusia itu hanya berdua.
"It's ok, di sini ramai, tak akan ada yang terjadi di antara mereka," ucap Kinn meyakinkan.
"O-okay. Maybe, I can be your tour guide for a moment while they are talking."
"It sounds nice." Kinn tersenyum dan bangkit, meninggalkan Latu dan Yita berdua.
"Tu?" panggil Yita saat Kinn dan Zeynab sudah menghilang dari pandangan.
"Hm?" gumam Latu sebagai respons. Perempuan itu tetap sibuk mengaduk minumannya yang sisa setengah tanpa minat.
"Lihat aku!" pinta Yita.
Latu menurut meski ogah-ogahan. Mata cokelat yang dulu Yita lihat penuh binar itu sangat berbeda sekarang. Tetap tegas memang, tetapi ada sendu menyeruak tatkala menyelami mata perempuan itu kini.
"Zina mata, Ta." Setelah mengatakannya, Latu segera membuang pandangan. Beradu tatap dengan Yita sama sekali tak sehat untuk jantungnya, apalagi perasaannya.
Yita tak protes, menghela napas panjang. "Katakan apa salahku, Tu. Dua tahun lebih aku menahan diri untuk tidak menghubungi kamu, memberi kamu ruang untuk berproses seperti yang kamu katakan hari itu. Hari ini, aku sangat menantikan hari ini dan kamu seperti ini?"
Pedih, respons yang Latu berikan sungguh mengecewakan, meski ia sempat terkejut saat tahu penampilan Latu sudah amat berubah. Perempuan itu sangat tertutup sekarang.
"Aku nggak minta kamu nungguin aku, Ta," balas Latu pelan, "udah aku bilang, you may find another woman ... atau kamu memang sudah menemukan perempuan lain itu, Ta?" Latu terkekeh miris. (Kamu boleh menemukan perempuan lain)
Pangkal alis Yita tertaut kuat, menatap Latu sangsi. "Apa maksud kamu sebenarnya, Tu? Perempuan lain apa? Dari awal sudah kukatakan, melepas kamu tidak akan semudah itu." Napas lelaki itu memburu.
Latu menoleh cepat, kali ini menatap Yita tanpa ragu. "Ratri, kamu sama dia, kan, Ta?"
"Hah?!" Berulang Yita mengerjap, mencerna maksud perkataan Latu, tetapi buntu.
Pada akhirnya Latu berdecak, membuka email dengan ponsel. Dibukanya kembali foto yang dilampirkan Sarira, lalu menunjukkannya pada Yita.
Melihat foto itu, Yita tersenyum geli. Sungguh, jadi karena ini Latu mengambil kesimpulan tersebut? Perempuan itu, cemburu.
"Tu, boleh setelah pulang ke Indonesia aku mendatangi Om Maruta lagi? Dan kumohon, jangan menolak lagi."
Latu memberengut, tangannya memukul meja pelan. "Yita! Serius, dong!"
Yita berusaha menghentikan tawa yang sempat berderai. "Aku serius, Latu. Kamu salah paham tentang foto itu."
Dalam foto itu ada Sarira dan Ulung sebagai dua mempelai—pada akhirnya—Ratri dan Yita berdiri bersisian di samping Sa, dengan Yita menggendong Zaki. Sedang, Zaa dan Ikhtar berdiri di sebelah Ulung. Ekspresi mereka begitu menunjukkan kebahagiaan. Tahu Ratri memiliki rasa pada Yita, bagaimana Latu tak salah paham? Tentu asumsinya sangat logis.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ehipassiko
General FictionApa yang bisa dikukuhkan lewat pemahaman dogmatis? Tak ada, setidaknya begitu menurut Latu. Perempuan berjiwa bebas itu tak menemukan urgensi dari beragama--atau mungkin belum. Menjadi mahasiswi Sastra Jawa barangkali menjadi salah satu jalan baginy...