"Bora! Astaga jangan jambak rambutku, dong. Sakit woey, aduh, rasanya mau lepas dari kepala ini rambutku!" Loka tak berhenti memekik, apalagi Bora semakin mengetatkan jambakan. "Om Edsel! Anaknya tolong dikandangin bentar ini."
Latu mengembuskan napas panjang, entah kapan aksi pembalasan dendam ini akan berakhir, ia dibuat sendiri oleh tingkah dua remaja itu.
"Rasain nih, rasain! Biar botak sekalian. Masa gue nyusruk gara-gara high heels bukannya ditolongin malah diketawain. Depan banyak orang itu ya ampun. Gue malu, Loka."
"Ya kan salah kamu sendiri! Yang resepsian Kak Latu kamu yang heboh pake sepatu hak tinggi." Semakin kencang jambakan dirasa. "Aduh! Mama, bantuin Loka. Sakit."
Resepsi pernikahan usai setengah jam yang lalu. Saat tamu undangan sudah membubarkan diri, sisa keluarga dekat, tanpa ragu Bora langsung menargetkan rambut penuh pomade Loka untuk dijambak. Bayangkan saja, saat sedang ramai-ramainya tadi, Bora hilang keseimbangan sebab memakai sepatu hak 10 cm. Jatuh tersungkur dekat pelaminan. Loka yang sejak awal berdiri bersamanya, bukannya menolong, malah ngakak tak ketulungan. Wajar saja jika Bora memiliki dendam kesumat pada pemuda itu.
"Duh Bora, sudah. Kasihan Lokatara." Kenny berusaha melepaskan tangan sang putri, tetapi terlalu kuat. "Dia sudah minta maaf, loh."
"Bodo amat, Mami. Loka nih emang perlu dikasih pelajaran," protes Bora.
Latu dan Yita yang masih dalam balutan pakaian resepsi saling pandang, sama-sama menggeleng tak habis pikir. Mereka berdua memang kacau kalau disatukan.
"Bora, oppa-oppa kamu mau ngadain konser di Indo, kan?" Berhasil, Bora langsung melepas jambakannya dan menoleh ke arah Latu cepat.
"Kok lo tahu, Mbak?" Wajah Bora setengah semringar setengah murung. "Sayangnya gue lagi bokek, nggak mungkin juga diizinin Papi nonton kalau nggak ada temennya, apalagi Papi strict parah, gue hampir nggak punya temen."
Latu meminta Bora mendekat ke arahnya dengan lambaian tangan. Gadis yang sudah menjadi mahasiswi semester 5 itu menurut, bahkan saat Latu berbisik di telinganya.
Saat Latu kembali ke posisi semula, Bora tersenyum cerah, memandang Loka penuh arti. Hal itu sukses membuat Loka bergidik, merasa ada yang tidak beres.
"Loka, gue mau maafin lo, dengan syarat tapi." Mata Bora mengerling.
"Apa?" tanya Loka.
Bora lantas beralih pada Edsel yang sudah penuh antisipasi. "Pi, Kak Latu mau kasih tiket nonton konser gratis sebagai hadiah ulang tahun Bora, loh. Boleh ya, Bora nonton? Tenang aja, sama Loka, kok."
Loka melotot lebar. "Loh, kok aku? Sejak kapan aku bilang mau nemenin kamu?"
"Mau dimaafin nggak, sih?" balas Bora sengit, mengundang desisan Loka.
"Beneran Loka mau nemenin kamu?" tanya Edsel sangsi.
Sebelum sukses angkat bicara, tangan Loka sudah lebih dulu digamit Bora. "Loka mau kok, Pi. Iya, kan?" ancamnya.
Loka berakhir menghela napas panjang, memutar bola mata malas.
"Pake baju longgar lengan panjang sama celana kulot, nggak ada tapi!" sembur Loka, "awas aja sampai pakai rok pendek sama baju kurang bahan kayak biasanya. Langsung aku pulangin kamu."
"Ih Loka, itu mau nonton konser apa ikut Kak Latu pengajian. Ish, nggak!"
"Ya udah, nggak jadi berangkat."
"Kok gitu, sih?" Bora sudah menghentakkan kaki telanjangnya berulang kali, tak setuju.
"Take it or leave it?"
Bora memandang Latu penuh harap. "Masa kayak gitu, Kak Latu? Konser apaan pakai baju oversize sama celana kulot?"
"Udah, terima aja. Daripada nggak jadi berangkat."
Sekali lagi Bora menghentakkan kaki, menjambak sekilas ujung rambut belakang Loka. "Fine, demi lihat Oppa."
Latu tertawa geli dari balik cadar putih gadingnya, menatap sang suami dengan mata menyipit. Ah ... suami. Yita resmi menjadi suaminya.
"Loka aslinya posesif banget, kan?" bisiknya pada Yita.
Sambil mengelus pelan pucuk kepala sang istri, Yita membalas, "Untung aku tidak perlu khawatirkan hal itu. Keputusan kamu bercadar hari itu, membuatku lega setengah mati, Latu Ja Wretika."
----The End----
See you next story. Habis ini ku-up prolog dulu kali ya, buat kenalan. See you there.
Amaranteya
15th of Oct 2023

KAMU SEDANG MEMBACA
Ehipassiko
Ficción GeneralApa yang bisa dikukuhkan lewat pemahaman dogmatis? Tak ada, setidaknya begitu menurut Latu. Perempuan berjiwa bebas itu tak menemukan urgensi dari beragama--atau mungkin belum. Menjadi mahasiswi Sastra Jawa barangkali menjadi salah satu jalan baginy...