15. Ajining Sarira

120 24 3
                                    

Tanpa sadar Ulung memegang kepala samping begitu sampai dan berdiri di depan rumah sederhana Sarira. Beberapa bangku usang di teras rumah yang biasanya rapi, sudah terbalik posisinya, seperti sengaja dibuat kacau. Kaca rumah perempuan itu pun tampak pecah di bagian sudut.

"Ada apa ini sebenarnya?" gumam Ulung. Rasa penasaran itu sudah jelas juga tersalur pada tiga yang lain.

Begitu mendengar suara teriakan dari dalam rumah, Ulung langsung berlari, disusul yang lain. Tanpa salam atau apa pun, lelaki itu merangsek masuk. Ruang tamu, kosong, keadaannya tak jauh berbeda, berantakan. Belingsatan Ulung mencari keberadaan Sarira, langkah kakinya spontan membawanya ke arah kamar ibu perempuan itu.

Dengan posisi pintu terbuka sebagian, Ulung dan yang lain bisa melihat kondisi di dalam dan siapa yang ada di sana tampak samping. Seorang perempuan berjilbab bergo mint tengah berlutut di hadapan tiga lelaki berwajah sangar. Pipinya basah sebab air mata, tetapi Ulung sadar betul wajah perempuan itu pucat pasi, menahan sakit.

"Saya mohon, setidaknya biarkan ibu saya dimakamkan dengan tenang untuk saat ini. Saya janji akan ikut kalian setelahnya."

Latu, Yita, dan Jenar terlonjak. Sebulir air mata juga sudah jatuh membasahi pipi Jenar. Sementara itu, tangan Ulung mengepal sempurna di sisi tubuh, rahangnya mengetat. Ia lantas membawa dirinya masuk, mendorong pintu kasar agar sepenuhnya terbuka. Semua yang ada di sana langsung menoleh ke arah Ulung, kecuali wanita paruh baya yang terbaring kaku di atas ranjang.

Mata Ulung memerah, menatap Sarira dan ibunya yang sudah meninggal bergantian. Sarira tampak memejamkan mata sejenak, terlihat begitu lega mendapati sosok Ulung di sana.

Tanpa aba Jenar melewati Ulung, hendak menenangkan Sarira. Namun, langkahnya dihentikan oleh satu dari lelaki yang kini sudah berdiri menghalangi mereka semua.

Yita dan Latu masih membatu di tempat, berpikir apa yang sebenarnya terjadi.

Ulung ... mengenal para lelaki itu. Rentenir kampung dengan dua anteknya. "Minggir!" tukas Ulung.

Dengkusan lolos dari bibir rentenir bertubuh gempal itu, senyum miring jua tersungging di bibirnya. "Sopo kowe, hah?! Ora usah ikut campur! Iki urusanku karo calon bojoku!"

Kali ini Ulung yang sukses dibuat mendengkus kasar, meremehkan. Sejujurnya, ia sedang mati-matian menahan emosi. Siapa yang tidak kenal Warso, rentenir kawakan yang jadi pilihan terakhir warga tiga kampung sekaligus jika kepepet tak punya uang. Bunga tinggi yang dipatoknya sukses membuat para peminjam tercekik, beberapa harus kehilangan surat tanah dan rumahnya. Itu juga yang menjadi alasan Warso menjadi juragan tanah sekaligus orang terkaya di sana. Lelaki licik itu bahkan sering memanfaatkan jatuh temponya pembayaran hutang untuk menikahi para anak peminjam yang dianggapnya cantik, sama seperti yang coba dilakukannya pada Sarira. Padahal, istrinya sudah empat.

"Sopo calon bojomu? Sarira? Aja ngimpi!" Semakin kentara Ulung menantang Warso.

Tawa Warso mengudara. "Sontoloyo! Darti itu punya utang tiga juta sama aku, belum dibayar sejak tiga tahun. Sama bunga, sekarang utangnya udah jadi sepuluh juta. Nah, sekarang dia udah mati, gimana mau bayar? Ndak bisa, toh? Sesuai perjanjian, anaknya harus mau kunikahi."

"Bangsat!" Latu sudah berkacak pinggang, maju merangsek, bahkan hingga membuat posisi Ulung tergeser. Matanya melotot lebar sarat permusuhan dengan napas memburu. Sontak tindakannya mengejutkan Ulung. "Apa kamu bilang? Sejak kapan utang tiga juta bisa jadi sepuluh juta? Bego, kamu? Nggak bisa itung-itungan, hah?"

Desisan lolos dari bibir Yita mendapati sikap Latu yang gegabah itu, simpultif.

Dua antek Warso kembali maju, siap menerjang Latu yang berdiri tanpa gentar meski kalah ukuran postur tubuh.

EhipassikoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang