Tatapan tajam tak henti terarah padanya sejak sepuluh menit yang lalu. Takut? Sejak kapan Latu memiliki rasa takut? Perempuan itu justru duduk santai sambil melipat kaki, menatap Kinnaja dengan tampang polosnya.
"Udah ah, marahnya. Nggak serem juga, Mas." Latu menegakkan posisi tubuh, menumpu kedua tangan pada kursi yang diduduki.
Keduanya memilih bertemu di tempat biasa Kinn menghabiskan waktu dengan tugas, sebuah angkringan bergaya cukup modern dan tentunya dilengkapi wifi. Setelah mendengar kabar tentang Latu dari Aeera, Kinn memilih membatalkan janji dengan salah satu teman malam ini dan meminta Latu menemuinya. Tentu ia tak akan menjadikan rumah sebagai tempat, Maruta tak akan membiarkannya memarahi Latu, dengan alasan yang sialnya amat logis: percuma memarahi Latu, karena dia terlampau keras kepala.
"Latu." Untuk pertama kalinya sejak duduk, Kinn menggeram. Suaranya amat berat terdengar, jelas ia mati-matian menahan emosi.
"Iya, Mas?" Masih saja gadis itu berusaha menggoda, senyum lebar terpatri di bibirnya.
"Kamu tahu betapa marahnya Mama karena keputusan kamu itu?" Sorot mata Kinn masih berkilat tajam. Sebelah tangan yang berada di atas meja terkepal kuat, tak berbeda dengan satunya yang berada di atas paha.
Latu tak menunjukkan perubahan ekspresi apa pun, tetap santai. Kali ini diraihnya cangkir kopi di hadapan lantas menyesapnya perlahan. Setelah kembali meletakkannya ke atas meja, ia berujar, "Pada akhirnya Mama bakal nerima, kok. Santai aja, Mas."
Emosi Kinn betul-betul tersulut habis kali ini. Menghadapi Latu terkadang memang sangat melelahkan. "Dan karena itu kamu bisa seenaknya?"
Ujung-ujung bibir Latu turun seketika. Kaki yang semula terlipat diturunkan, bersamaan dengan kepalanya yang tertunduk dalam, membuat sebagian rambut two-tone itu menutupi wajah. Jemari Latu langsung saling bertaut di pangkuan, juga giginya yang kini aktif menggigit bibir bawah. Kinn tampak sangat menyeramkan saat ini.
"Hanya karena kamu merasa berkuasa penuh atas diri kamu, kamu lupa sama sekeliling kamu? Oke kalau sejak awal kamu tidak melibatkan Mama dalam urusan kuliah kamu itu, tapi nyatanya ... apa-apa kamu masih minta Mama sama Ayah, kan?"
Mata Latu mulai berkaca tanpa Kinn tahu, bibirnya mulai bergetar.
"Kenapa Mas yang marah, sih? Ayah aja nggak marahin Latu," lirih perempuan itu, tetapi masih terdengar jelas di telinga Kinnaja.
"Karena Ayah tidak mungkin memarahi kamu. Dengan cara didik Ayah yang seperti ini, bukan berarti kamu jadi lupa batasan, Latu." Kinn memejamkan mata, sadar bahu Latu mulai bergetar. Dibukanya kembali netra cokelat itu dan kembali berujar dengan suara melembut, "Katakanlah keputusan kamu itu tepat untuk diri kamu meski Mama marah, tapi sekarang Mas tanya, meskipun cuma sekali, apa kamu minta maaf sama Mama?"
Kepala Latu langsung terangkat, ditatapnya Kinn dengan mata yang sudah memerah. Satu bulir air mata meluncur jatuh ke pipi kiri gadis itu saat netranya bersibobok dengan netra Kinnaja. "Aku ... nggak, aku nggak minta maaf ke Mama. Sama sekali."
Sekali lagi Kinn memejamkan mata sejenak seraya mengembuskan napas panjang. Sungguh, rasanya menyakitkan mendengar Aeera bercerita sore tadi, suara perempuan itu parau, antara menahan emosi juga sebab menangis. Besar tanpa sosok ibu dan bertemu dengan Aeera sebagai sosok tersebut, membuat Kinn benar-benar menghargai perempuan itu. Tahu Aeera terluka karena putri kandungnya ... Kinn marah.
"Latu."
"Maaf, Mas. Latu egois banget, ya?" Bulir air mata yang lain mulai berjejalan keluar. "Latu nggak mikir sampai sana."
"Berhenti nangis!"
"Latu emang egois, nggak bersyukur, kan?"
"Stop, Latu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ehipassiko
General FictionApa yang bisa dikukuhkan lewat pemahaman dogmatis? Tak ada, setidaknya begitu menurut Latu. Perempuan berjiwa bebas itu tak menemukan urgensi dari beragama--atau mungkin belum. Menjadi mahasiswi Sastra Jawa barangkali menjadi salah satu jalan baginy...