26. Idealisme yang Ideal

118 22 2
                                    

Hampir 10 menit mereka menunggu bus selanjutnya datang. Belum sempat Yudha menghabiskan rokoknya, ia sudah harus membuangnya ke tempat sampah, kembali naik ke atas BRT.

Kembali mereka harus berdesakan, meski tak separah tadi. Kali ini Gea memilih menempel pada Latu, setidaknya akan lebih aman begitu. Tak ada percakapan, Latu fokus memandangi gedung-gedung mewah di Kota Semarang yang ternyata cukup panas, padahal masih terhitung pagi.

Mereka transit sekali lagi sebelum benar-benar sampai di halte penurunan pengunjung Grand Maerakaca. Satu yang agak disesali Latu, jarak halte dengan gerbang masuk tempat wisata tersebut jauh. Mereka berempat harus berjalan kaki dan itu melelahkan.

“Berhenti dulu, aku capek.” Latu menumpu kedua tangan pada lutut tepat di depan pintu masuk Maerakaca. Ia harus memulihkan tenaga juga mood terlebih dahulu jika ingin menikmati yang ada di dalam sana.

Gea dan dua pemuda itu mengangguk, mereka bahkan sampai berjongkok di bawah pepohonan.

“Tahu gini naik motor aja, deh,” keluh Latu.

I’ve told you, Mbak,” timpal Yudha, “tapi ngeyel minta naik BRT.”

“Ya abis kamu nggak bilang kalau bakal jalan sejauh ini.”

Di posisinya, Gea meringis, merasa bersalah karena ia yang mengusulkan ini pertama kali.

“Anggap saja olahraga,” sahut Yita. Di bibir lelaki itu, tersungging senyum lebar, seperti tak ada kekesalan sedikit pun.

Latu ikut berjongkok pada akhirnya. “Kamu nggak capek apa, Ta?”

“Memangnya, dengan mengeluh rasa lelah itu akan hilang?”

Decakan langsung lolos dari bibir Latu.

Yudha membalas, “Fiks, ngomong sama lo emang harus hati-hati, Mas.”

“Mbak Latu mau minum? Aku bawa botol minuman dari kos,” tawar Gea.

“Yang ditawarin Mbak Latu doang, nih? Gue sama Mas Yita nggak?” Yudha melempar sorot kecewa, hanya untuk membuat perempuan itu merasa bersalah.

“Buat kamu, nggak ada!” balas Gea sengit, “Mas Yita mau?”

Latu terbahak, gadis itu masih mengajak Yudha perang dingin rupanya.

“Terima kasih, Ge, tapi tidak usah. Kamu sama Latu saja.”

Latu langsung meraih botol minuman yang diangsurkan Gea, meminum isinya dua teguk. Sampai dalam, setelah menemui kedai, ia janji akan membeli minuman sendiri, plus makanan karena ia lapar.

“Udah yuk, masuk! Kita ngadem di dalam aja,” ajak Latu yang kini sudah bangkit dan kembali menyerahkan botol milik Gea.

Tiga orang itu menyusul. Namun pada akhirnya, Yudha dan Gea berjalan lebih dulu untuk membeli tiket bagi mereka.

“Ta, aku punya pertanyaan lagi, kamu mau jawab?” Latu melirik Yita sekilas, sekadar ingin melihat respons lelaki itu.

You’ve asked,” balas Yita tanpa rasa bersalah.

“Ya maksudnya nggak gitu juga dong, Ta.” Bibir Latu mencebik.

Kali ini Yita menoleh, lalu menyunggingkan senyum tipis. “Biasanya juga langsung bertanya, Tu. Kenapa?”

Ribuan orang mungkin telah berhasil menyangkal moralitas-moralitas dan segala idealisme tentang ‘yang ideal’, ribuan orang lainnya mungkin telah menyangkal ‘Tuhan-Tuhan beserta persepsi theomorfik-nya, tetapi bagaimana bisa seseorang menyangkal kehidupan?” Latu hafal betul kutipan postingan yang dilihatnya semalam, rasanya tak habis terngiang di kepalanya.

EhipassikoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang