35. La Takhaf Wa La Tahzan

131 24 7
                                    

Mereka berdua sampai di Masjid Menara Kudus setelah Zuhur. Yita memutuskan salat lebih dulu sebelum masuk ke dalam kompleks makam, membiarkan Latu menunggu di depan menara atas permintaan perempuan itu sendiri. Begitulah Latu berakhir di sana, berdiri menatap lekat bangunan hasil akulturasi Hindu pada zaman dulu. Susunan bata merah yang gayanya kental nuansa klasik.

"Aku bener-bener sampai sini," gumamnya. Sejak menjejakkan kaki di Kota Kretek itu, jantung Latu berdebar kuat, tetapi menenangkan. Berbeda dengan di Demak tadi yang saat sampai ia malah lebih fokus pada sekeliling, di sini ia seolah tak tertarik dengan yang lain selain bangunan menara juga pintu masuk ke kompleks makam. Latu sungguh ingin segera masuk ke sana.

Ujung-ujung bibir Latu tertarik ke atas, membentuk lengkungan sempurna. Hal itu juga memunculkan kerut halus di ujung matanya yang menyipit. "Latu sampai di sini, Ayah, Mama. Tempat pertama kali kalian bertawasshul bersama."

Latu ingat bagaimana berbinarnya mata sang mama saat menceritakan momen itu.

Sama seperti saat ini, setelah salat Zuhur bersama di masjid, keduanya bertemu di serambi seraya rehat sejenak setelah perjalanan panjang. Dalam balutan sarung hitam juga kemeja lengan panjang berwarna senada, tiba-tiba Maruta meletakkan telapak tangannya di ubun-ubun Aeera dan berdoa, "Allahumma inni as'aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa 'alaih. Wa a'udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha 'alaih."

Waktu itu, Aeera bertanya untuk apa Maruta melakukannya, sedang sudah terlalu lama akad terjadi. Pun Maruta sudah pernah melakukannya usai salat jamaah pertama kali setelah Aeera kembali dulu. Dengan senyum teduhnya, lelaki itu mengusap sekilas kepala tertutup jilbab hitam Aeera dan menjawab, "Hanya ingin. Rasanya doaku untuk kebaikanmu dan kita tidak pernah cukup, Aeera. Tidak akan."

Ah ... bagaimana Latu tak ingin ke tempat ini? Ada kisah manis antara ayah dan mamanya di sini.

"Jangan melamun." Tiba-tiba saja Yita sudah ada di sampingnya, tampak segar dengan ujung rambut yang masih sedikit basah sisa air wudlu. "Pakai jilbab yang tadi lagi, ayo kita masuk."

Latu langsung menurut, mengeluarkan kain berwarna cokelat terang yang sama dan mengenakannya sebagai jilbab. Keduanya lantas berjalan masuk bersisian lewat gerbang utama. Jadi foto sang mama dan ayah dalam album itu diambil di sini? Di antara tiang lampu juga dikelilingi pohon palem. Latu tersenyum.

"Kenapa?" tanya Yita.

"Nope, hanya teringat sesuatu," jawab Latu sekenanya.

"Kita ke makam Sunan Kudus dulu, nanti baru ke Nyai Hamdanah," kata Yita, dibalasi anggukan.

Di luar, cuaca memang tak terlalu panas, tetapi Latu tak menyangka begitu memasuki kompleks makam, rasanya malah semakin sejuk. Seperti berada dalam ruangan ber-AC.

Mereka berdua, bersama para peziarah lain berjalan menyusuri jalan setapak yang sudah dikeramik. Hampir mencapai pintu terakhir sebelum masuk ke ruang makam Sunan Kudus, Yita menunjuk sebuah makam dengan ibu jarinya dan berujar, "Lihat ke sana, itu makam Nyai Hamdanah."

Latu refleks menoleh, tepat seperti yang dibicarakan Yita dan Gea, makam beliau berada tepat di belakang bangunan masjid.

Memasuki ruang utama, sejuk semakin terasa. Latu bahkan merasakan dingin yang cukup menusuk di telapak kaki. Hampir sama seperti makam Sunan Kalijaga, makam Sunan Kudus dikelilingi dinding kayu, tertutup rapat.

Keduanya berjalan memutar, memilih tempat duduk di sisi utara makam yang saat ini lebih sepi dibanding sisi lain. Seperti sebelumnya, Latu duduk agak di belakang Yita, kembali membiarkan lelaki itu bermunajat sendiri.

Dalam keadaan duduk bersila, Latu sibuk memperhatikan sekitar. Memandangi para peziarah yang khusyuk dalam doa masing-masing. Satu rombongan didapati Latu melafalkan tahlil keras-keras, rombongan lain menyahut melantunkan bacaan yang Latu tak tahu apa itu. Mereka tampak begitu tenggelam tanpa peduli hal lain di sekitar.

EhipassikoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang