29. Ambiguitas Mistikisme

147 29 12
                                        

Sampai di kos Yudha dengan bersusah payah, Yita langsung istirahat. Tak lupa mempersilakan Latu dan yang lain pergi malam ini jika memang ingin. Ia tak mungkin ikut dengan kondisi masih lemas.

Tentu saja Latu tak serta merta betulan mengajak Gea keluar. Ia memilih bersantai di kamar kos Gea sembari tangannya sibuk membolak-balik bendel skripsi sang empu kamar yang penuh coretan dosen. Belum direvisi sama sekali. Mungkin juga versi revisi masih dalam bentuk soft file, Latu tak tahu.

“Mbak, bisa tolongin aku hubungin ke temen Mbak Latu, nggak? Yang Mbak bilang skripsinya mirip-mirip itu, aku beneran buntu ini,” pinta Gea dari atas ranjang, duduk bersila sambil memangku bantal.

Latu langsung menoleh, tak lama memutuskan memutar kursi belajar Gea agar lebih leluasa berhadaan dengan perempuan itu.

“Beneran mau?” tanya Latu, dibalasi anggukan mantap.

Latu langsung meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja dan mencari kontak seseorang. Ia langsung men-dial ikon panggilan video. Pada dering kedua, panggilan tersambung, langsung menampilkan muka Gavin.

Dari layar, Latu bia melihat bahwa lelaki itu tengah di luar. Kemungkinan besarnya di tempat tongkrongan. Memang, setelah wisuda, teman-temannya tak langsung pada pulang ke kampung halaman, menikmati sisa waktu di sana katanya.

“Yo, Tu. Ada apa? Tumben lo vidcall gue. Bosen berduaan sama Yita lo? Eh BTW, di belahan Indonesia bagian mana lo sekarang?” cecar Gavin.

“Buset, tanya satu-satu kali,” keluh Latu.

Di tempatnya, Gea diam. Tampaknya Latu sangat akrab dengan lelaki di seberang panggilan.

“Ya udah sih, tinggal jawab juga.”

“Nggak ya, mana ada aku bosan, aku emang ada perlu sama kamu. Dan … aku di Semarang,” jelas Latu singkat.

I see, ada perlu apa lo emang sama gue?”

“Temanku di Semarang lagi skripsian. Kebetulan jurusannya sama kayak kita. Nah, topik yang dia ambil ini 98 persen sama kayak skripsi kamu. Dia mau tanya-tanya gitu, gimana?”

“Cewek apa cowok?” tanya Gavin dengan senyum penuh arti.

Sejenak Latu melirik ke arah Gea, meminta izin untuk ikut merangkum wajahnya dalam kamera. Karena Gea juga dalam posisi mengenakan jilbab, ia mengangguk.

Latu langsung berpindah tempat, duduk di samping Gea. Membiarkan muka Gea ikut terbingkai. “Nih orangnya.”

Gea melambai seraya tersenyum. “Halo, aku temennya Mbak Latu yang mau minta bantuan.”

“Cantik, Man. Sialan, tapi berjilbab. Beda server.”

Sayang, umpatan pelan Gavin yang berbicara pada teman nongkrongnya masih terdengar jelas di telinga dua perempuan itu.

“Heh, semprul!” semprot Latu, “mau bantu, nggak? Jangan macem-macem kamu, temenku, nih.”

“Santai, Tu, astaga. Ya udah, biar lebih gampang, kasih kontak gue ke dia aja.” Gavin beralih pada perempuan lain yang masih tampak di kamera. “Nggak apa-apa, kan? Soalnya kalau lewat Latu ada hawa-hawa seremnya. Tenang aja, nggak modus gue, beda server gini.”

Gea terkikik, tetapi tak urung mengangguk juga.

“Gavin rese’, awas aja kamu!”
Setelah menutup panggilan, Latu langsung mengirim kontak Gavin pada Gea. “Hati-hati, Ge. Kalau Yudha tahu aku kasih kamu nomor cowok, bisa digantung aku.”

“Nggak gitu juga, Mbak Latu.” Gea terkekeh. Tak mengejutkan Latu bisa berpikir begitu, tingkah Yudha tadi pagi sudah cukup menjadi bukti, kan? “Terima kasih.”

EhipassikoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang