43. It's (not) About Being Bold

102 24 3
                                    

Latu punya keyakinan baru, bahwa hidup itu bukan hanya untuk dijalani, tetapi juga dihayati dan dimaknai. Jika dipikir-pikir, sikap skeptisnya terhadap agama selama ini justru yang membuat hidupnya stagnan, jalan di tempat. Ia terpaku pada mereka yang didogmatisasi, menganggap bahwa memang begitulah konsep semua agama, menerapkan klausa-klausa doktrinal yang menumpulkan pikiran, menggiring pada kejumudan.

Namun, Latu salah, salah besar. Penilaiannya terlalu subjektif. Stagnasi hidupnya perihal berkeyakinan hanya timbul efek terlalu sempitnya Latu memandang banyak hal. Padahal, agama tak pernah mengajarkannya untuk hidup, lalu mati tanpa makna. Agama tak pernah mengajarkan agar pengikutnya menjadi makhluk bodoh bak kerbau yang dicucuk hidungnya. Agama justru mendukung pemercayanya menjadi cerdas dalam banyak aspek.

Islam dengan Iqra' bismi rabbikal-lażī khalaq(a), barangkali Budha dengan penerapan Ehipassiko untuk sampai pada saddha. Lalu, diimbangi dengan konsep Kejawen yang membumi, memahami dan mengenal Tuhan lewat alam semesta yang bernapaskan Tuhan itu sendiri. Latu agaknya lupa, bahwa kewajiban mencari ilmu itu bukan hanya tentang pengetahuan dunia, tetapi ilmu mengenal Tuhan. Sekarang Latu sadar, bermula dari sebuket edelweiss kering.

Dipandangnya bangunan megah bergaya Najdian berbentuk persegi di depan sana, menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Matanya sontak menyipit saat ujung-ujung bibirnya tertarik ke atas. Ia bersyukur, sangat bersyukur bisa sampai di titik ini. Ujung abaya hitamnya menyapu tanah berpasir di bawah saat angin berembus cukup kencang, berkibar pun khimar senada yang menutup kepalanya hingga paha.

Dari balik kacamata hitam, Latu membidik istana di atas Murabba Al-Sufyan dengan kamera digital di tangan. Bangunan yang cantik.

"Assalamu'alaikum, naharuka sa'idah, ya ukhti." Seorang perempuan menepuk bahu Latu pelan, membuat perempuan itu berbalik. (Selamat siang, Saudariku)

"Zeynab, wa'alaikumussalam. Sa'idatum mubarak." Latu memekik senang mendapati kawan seperjuangannya itu. Terbilang, hampir seminggu mereka tak bertemu sebab Zeynab baru kembali dari kampung halamannya di Ankara.

Mereka berpelukan untuk beberapa saat, sebelum saling memandang penuh rindu. "Wah, you look different, Zeynab."

Dari atas ke bawah Latu memperhatikan perempuan itu. Untung saja ia masih mengenali Zeynab. Seminggu lalu, saat Latu mengantarnya ke Bandara King Abdul Aziz, Zeynab masih setia dengan gamis longgar dan khimar lebar, kali ini sudah lengkap dengan cadar. Hanya mata perempuan itu yang terlihat.

"Have I already looked like you?" tanya perempuan itu. Jujur, langkah besarnya hari ini adalah salah satu pengaruh yang diberikan Latu. (Sudahkah aku terlihat sepertimu?)

Pertama kali mengenal Latu, Zeynab sudah memiliki niat untuk mengikuti jejak perempuan itu untuk bercadar. Iya, saat itu sampai sekarang pun, Zeynab hanya bisa melihat iris cokelat Latu.

Sejak menginjakkan kakinya di Saudi Arabia, Latu sudah mantap dengan keputusan menutup wajah total, kecuali mata tentu. Berteman dengan Zeynab dan yang lain, bertukar pikiran dengan mereka, rupanya tanpa sadar Latu memberikan pengaruh itu pada teman-temannya di sana. Ia ikut senang, meskipun ini hukumnya sunnah.

"No matter you look like, you're still beautiful, Zeynab," puji Latu tulus, "moreover with those light grey eyes." (Tidak peduli bagaimana kamu terlihat, kamu tetap cantik, Zeynab. Terlebih dengan mata abu terang itu)

"Kau selalu memuji warna mataku," elak Zeynab, "bagaimana dengan rencana kakakmu? Kudengar dari Dasya dia akan mengunjungimu kemari."

"Ah, anak itu tidak bisa menjaga hal sekecil ini." keluhnya, "ya, minggu depan dia kemari. Menunggu wisuda. Mau kukenalkan? Dia lelaki yang baik."

EhipassikoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang