"Tapi asli, Lung. Bagaimana ritual kayak gitu dilakuin? Maksudku, caranya." Latu tak sekali pun menyandarkan punggung pada sandaran kursi, ia terlalu tertarik dengan yang baru saja dikatakan Ulung, membuatnya selalu mencondongkan tubuh.
Berbeda dengannya, Yita memilih sibuk mengunyah gorengan yang disuguhkan. Ia terlalu lelah menanggapi, toh mendengarkan keduanya lebih tidak melelahkan.
"Seperti ritual pada umumnya, dengan sesaji. Yang aku ingat, ada apem, kolak, ketan, gula kelapa, teh pahit atau kopi, kembang telon, dan sejumlah uang, ditata semacam persembahan gitu. Terus, berdoa dan diakhiri pembakaran dupa atau kemenyan."
Penjelasan seadanya itu cukup membuat Latu meringis. Meski bukan hal yang baru didengar, tetap saja itu cukup tak bisa dinalar, seperti ... memberi persembahan pada yang sudah mati? Rasanya terlalu berlebihan.
Yita sedikit melirik dan melihat ekspresi Latu, pemuda itu sadar bahwa perempuan di sampingnya memiliki uneg-uneg yang sengaja tak disuarakan, mungkin untuk menghargai Ulung.
Namun, pertanyaan Latu terhadap lelaki asli Jogja itu sungguh di luar dugaannya, terkesan amat polos—bukan, sembrono justru.
"Maaf sekali lagi, Lung. Kamu sekeluarga muslim atau bukan?"
Ulung mengangguk mantap tanpa beban.
"Ritual kayak gitu ... apa boleh dilakuin sama seorang muslim? Maaf banget, apa itu bukan praktik kesyirikan? Memberi sesaji pada yang udah meninggal."
Sekali lagi Ulung memberikan tanggapan tak terduga, lelaki itu terbahak keras. Karena hal itu pula, Latu sampai dapat melihat Jenar menyembulkan kepala dari balik pintu. Gadis SMA itu mungkin ikut penasaran kenapa kakaknya bisa tertawa sebegitu kerasnya.
"Jenar, sini!" Latu melambaikan tangan, meminta gadis itu bergabung dengan mereka.
Setelah menampakkan diri sepenuhnya, Jenar bertanya, "Ndak apa-apa aku ikut gabung, Mas Ulung? Di dapur tugasku sudah selesai, bingung mau ngapain lagi."
"Sini aja."
Jenar tersenyum cerah sambil berjalan mendekat. Gadis itu mengambil tempat duduk di kursi kosong yang tersisa.
"Pertanyaan kamu sama kayak pertanyaan Jenar, Tu." Ulung baru menjawab, masih dengan sisa tawa. "Bedanya, Jenar langsung digeplak Ibuk waktu tanya."
Tawa canggung lolos dari bibir Latu, sedang Jenar dibuat memberengut.
"Kamu tidak berpikir bahwa ada makna filosofis di balik ritual semacam itu? Sama seperti saat kamu mempelajari macapat," sambung Yita, sedikit menyindir.
"Ya makanya aku tanya, biar nggak salah paham." Bola mata Latu berputar malas. "Dikira aku tahu semua hal."
"Oke-oke. Gini, Tu. Terlepas dari bayangan kamu, kami sama sekali nggak pernah ada niatan buat menyekutukan Tuhan, menyembah yang lain, atau apa pun yang berkaitan sama kesyirikan. Kami melakukan itu semata tradisi yang memang harus dilestarikan, juga bentuk penghormatan kami kepada mereka yang sudah meninggal.
"Sama halnya tahlil, dalam tradisi geblagan juga sejatinya mendoakan yang udah berada di sisi Tuhan. Berdoa sama siapa, ya sama Tuhan, bukan berdoa atau mengharap pada mereka yang sudah mati."
Hening sesaat, Latu dibiarkan mencerna penjelasan itu dengan cermat. Sejenak mengernyitkan dahi, perempuan itu lantas menyandarkan punggung, kemudian menoleh pada Yita yang tengah melemparkan senyum mengejek. Spontan kepalan tangannya terangkat, memberi pukulan pelan pada lengan atas lelaki itu. "Tengil ya, Ta."
Jenar terkikik, tingkah perempuan teman sang kakak itu rupanya masih sama sepertinya jika kesal.
"Kamu yang terlalu simpultif, seperti memaknai penggalan tembang Pangkur waktu itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ehipassiko
General FictionApa yang bisa dikukuhkan lewat pemahaman dogmatis? Tak ada, setidaknya begitu menurut Latu. Perempuan berjiwa bebas itu tak menemukan urgensi dari beragama--atau mungkin belum. Menjadi mahasiswi Sastra Jawa barangkali menjadi salah satu jalan baginy...