Sudah satu jam lebih Yita berdiam di sudut baca rumah, merenungi diri dan obrolannya dengan sang mama dan papa semalam. Memurnikan niat. Apa yang sebenarnya dia niatkan dari keinginan mengikat Latu? Apa ini hanya nafsu sekilas untuk memiliki Latu, atau rasa takutnya atas Kinnaja? Sial! Yita terkekeh, ternyata ia tak cukup percaya diri, hingga kecemburuan itu menguasai. Ia takut pada Kinnaja.
Lelaki itu memejamkan mata, mengatur napas agar lebih teratur setelah terdistraksi. "Allah, aku masih selemah ini tapi berani-beraninya mengisi penuh hati dan pikiranku dengan makhluk-Mu. Allah ...."
Dering ponsel di atas meja mengambil atensi Yita. Diliriknya sekilas nama yang tertera di layar, Maruta. Segera lelaki itu mengangkat panggilan.
"Assalamu'alaikum, Om Maruta."
Langsung terdengar balasan salam dari seberang.
"I guess, seperti biasa, karena Latu tidak memberi kabar?" tanya Yita setengah bercanda, ia tidak ingin suasana terlalu kaku untuknya dan Maruta.
"Salah satunya." Di sana, Maruta tertawa.
"Latu baik-baik saja, Om. Kami sudah sampai di rumah orang tua saya semalam. Sekarang dia ikut Mama ke rumah sakit, menemani penyintas konsul ke psikolog."
"Syukurlah kalau begitu. Kalian jadi ke Jakarta akhir pekan ini?"
"Insyaallah. Oh iya, tadi Om Maruta bilang menanyakan kabar Latu hanya salah satu alasan, apa alasan yang lain?" Yita menegakkan tubuh, kini matanya terarah lurus ke luar jendela, memandangi anak-anak termasuk Zaki yang tengah asyik bermain.
"Andai saya mengizinkan, kamu mau membawa Latu ikut serta ke Kanada?"
Mata Yita membulat sempurna, menunduk seketika. Ia lantas mengerjap dengan degup jantung yang menggila. "Mak-sud Om Maruta ... what does it mean?"
"Kemarin saya dan istri saya ke rumah Harsa, kebetulan Laith dan Nuha juga berada di sana. Kami berbincang, sedikit bernostalgia. Juga, kami membahas kalian—kamu dan Latu. Dari sana, saya mengambil satu kesimpulan, mungkin juga bisa dikatakan keputusan. Ada hal dalam diri kamu yang tidak dimiliki Kinnaja, dan itu yang saya cari untuk Latu. Tentu saja, semua akan kembali lagi pada Latu."
"Tunggu, Om. Saya masih tidak mengerti, apa maksudnya?" Dahi Yita berkerut dalam. Sejujurnya, ia takut dengan kemungkinan yang kini bersarang dalam kepala.
"Jika saya dan istri saya lebih memilih kamu dibanding Kinnaja untuk mendampingi Latu, apa yang akan kamu lakukan?"
Allah, jantung Yita rasanya berhenti untuk beberapa saat, lupa caranya bernapas. Ini ... senyum lelaki itu terbit begitu saja. Semburat merah sama sekali tak bisa disembunyikan, merambat hingga ke telinga. Diibaratkan bersaing mendapatkan tiket konser, Yita malah mendapat kesempatan langsung ke belakang stage.
"Om serius?"
"Never been this serious for my daughter. Kamu tahu, sangat berat bagi orang tua memberikan kepercayaan pada orang lain, untuk mengambil alih tanggung jawab atas putri semata wayangnya. And you get that from me and Aeera. So, what will you do, Dayita?"
"Tapi, it's so fast, is there any reason, Om? And why should be me?"
"Istri saya mau berbicara," ucap Maruta. Panggilan langsung beralih sepertinya, terbukti dengan suara perempuan yang langsung masuk.
"Dayita, sebagai seorang ibu, jujur saja saya selalu khawatir tentang Latu, bagaimana dia bertingkah dan bergaul di luar sana. Bukan karena saya nggak percaya sama anak saya sendiri, kamu pasti sudah paham bahwa Latu sering bertindak di luar nalar, susah ditebak, dan itu yang saya takutkan. Latu anak yang sukar dipahami, bahkan saya yang orang tuanya, kesulitan mengerti pola pikir dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ehipassiko
General FictionApa yang bisa dikukuhkan lewat pemahaman dogmatis? Tak ada, setidaknya begitu menurut Latu. Perempuan berjiwa bebas itu tak menemukan urgensi dari beragama--atau mungkin belum. Menjadi mahasiswi Sastra Jawa barangkali menjadi salah satu jalan baginy...