"Ta, kamu bisa ngimamin tahlil?" tanya Latu begitu sampai di kompleks pemakaman Sunan Kalijaga.
Yita menoleh dan mengangguk mantap. "Memang kamu mau baca tahlil?"
Latu menggeleng, meski ragu. "Cuma tanya. Tapi, nanti aku baca apa dong, kalau nggak tahlil?"
Yita mengulum senyum. Perempuan di sampingnya bisa sangat polos rupanya. "Kamu cukup diam jika tidak ingin baca apa pun, Latu. Lagipula, memang kamu yakin apa yang kamu baca dapat diterima dalam kondisi sekarang?"
Latu mengedikkan bahu. "Diterima nggak diterima kan bukan hakku untuk menentukan. Yang penting niatku baik." Latu lebih mendekat, berbisik, "Lagipula Ta, banyak orang yang nggak paham sama hakikat ziarah. Padahal kan kayak kata kamu sama Gea, ziarah itu sifatnya tawasshul, berwasilah, biar ingat kematian juga. Eh, malah pada asal trabas dengan kalimat 'Mau minta ini ke Wali ini, Sunan ini. Apa nggak auto musyrik mereka minta sama kuburan'?"
Sungguh, Yita ingin tertawa, tak bisa mengelak pemikiran Latu. Nyatanya memang benar, sebagian orang belum meluruskan niat terkait yang satu itu.
"Sebelum masuk, pakai ini." Yita menyerahkan sebuah kain seperti selendang ke arah Latu, diterima dengan bingung.
Kapan lelaki tersebut membelinya? Sepanjang perjalanan masuk tadi, Latu memang sibuk memperhatikan sekitar, sesekali mengabsen berapa banyak pedagang baik makanan maupun souvenir yang berjajar sejak pintu masuk. Saat di depan gerbang masuk area makam, Latu dibuat lebih terkejut lagi karena rupanya jalan menuju ke sana memiliki tiga cabang dan semuanya penuh pedagang. Pantas saja ia tak sadar bahwa Yita membeli sesuatu untuknya.
"Bukannya tidak menghargai kamu yang tidak berjilbab, tapi alangkah baiknya kita menghargai tempat di mana kita berpijak. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung, benar?" lanjut Yita.
Latu mengangguk dan menyampirkan kain itu segera ke kepala. Membebat seadanya.
Mereka memilih duduk di sisi utara makam. Tidak sejajar, Latu memilih duduk agak di belakang Yita. Bagaimanapun, ia paham apa itu adab, apalagi ia dan Yita tak memiliki ikatan apa pun.
Sedang Yita mulai fokus pada apa yang dilafalkan, Latu memperhatikan makam di depannya lekat. Tak sepenuhnya makam yang memiliki pusara, Latu hanya dapat melihat bangunan berbentuk kubus dari kayu yang dibuat mengelilingi makan Sunan Kalijaga, tertutup rapat. Setahunya, ruangan itu akan dibuka pada saat-saat tertentu saja.
Latu tak tahu jelas apa yang dibaca Yita pada akhirnya, ia memutuskan untuk memejamkan mata, mulai siap dalam posisi tapa. Fokus dirasakannya aliran darah juga detak jantung dalam tubuh. Mengisi ruas-ruas jari hingga pangkal-pangkal rambut. Latu kembali tenggelam.
Lima belas menit Yita selesai, tetapi begitu menoleh ke arah Latu yang masih memejamkan mata tanpa bergerak seinci pun, ia memilih menunggu dengan khidmat. Dibiarkannya Latu tenggelam sepenuhnya kali ini.
Empat puluh menit berlalu, hingga Yita mendapati Latu menjatuhkan air mata, mengalir membasahi dua pipi perempuan itu. Tetap memejam. Sekali lagi, Yita membiarkan. Lima menit kemudian, barulah Latu membuka mata. Disapukannya pandangan ke sekeliling dengan napas memburu, sebelum terkunci pada iris cokelat Yita.
"Everything's alright," kata lelaki itu seraya tersenyum. Bukan pertanyaan, itu adalah penegasan bahwa Latu tidak apa-apa.
"Rasanya sesak, Ta," lirih Latu.
"Tidak apa-apa, Latu. Tidak apa-apa."
Sungguh, Latu tidak bisa mendeskripsikan perasaannya saat ini, terlalu kacau. Ada rasa sesak, tetapi juga lega secara bersamaan. Hanya, ia bisa memastikan, ini sedikit ... perasaannya menghangat pada detik berikutnya. Seolah segala beban yang selama ini menghimpit, terangkat begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ehipassiko
Fiksi UmumApa yang bisa dikukuhkan lewat pemahaman dogmatis? Tak ada, setidaknya begitu menurut Latu. Perempuan berjiwa bebas itu tak menemukan urgensi dari beragama--atau mungkin belum. Menjadi mahasiswi Sastra Jawa barangkali menjadi salah satu jalan baginy...