21. Suwung

195 37 6
                                    

Aku harap kalian nggak baca part ini pas lagi capek, aku serius!

-o0o-

Hasil meminjam laptop milik Jenar, Latu duduk fokus di depan meja belajar, sedang si empu sudah tidur lebih dulu. Berselancar di internet setelah menyambungkan perangkat berukuran 15 inci itu pada mobile hotspot smartphone. Sudah tiga tab terbuka di laman Google. Pencarian yang sama dengan keyword berbeda.

Sejauh ini, Latu hanya dapat mengambil kesimpulan bahwa sabbe sankhara anatta yang dimaksud Yita bermuara pada kata “kekosongan”, sama seperti sensasi yang ia rasakan beberapa waktu lalu. Ia juga menemukan istilah “suwung” dalam pencariannya, sebuah istilah yang merujuk pada konsep spiritualitas para sufi selain pengartian kondisi hampa secara harfiah kebahasaan Jawa.

“Hanya wadah yang kosong yang dapat menampung sesuatu, maka kosongkan dirimu untuk dapat menerima Tuhan seutuhnya,” gumam Latu, lantas menggigit bibir bawah.

Belum sempat menggulir laman, Latu dibuat beralih pada ponsel di samping laptop yang menampilkan sebuah notifikasi pesan. Dari Yita.

|Kamu pasti belum tidur.

Sok tahu|

|Nyatanya kamu membalas.

Bener juga, sih|

|Wanna hear a fairytale?

Mending kamu jawab pertanyaan aku aja|

|Setuju. Kita ngobrol di teras saja.

Latu tersenyum lebar membaca pesan itu. Setelah ditutupnya laman Google dan mematikan laptop, ia beranjak. Ditinggalkannya ponsel begitu saja di atas meja lalu meraih cardigan di sandaran kursi dan memakainya.

Sampai di teras, ia sudah mendapati Yita duduk manis di salah satu kursi, menatapnya teduh.

Tak langsung ada percakapan di antara mereka, baik Latu maupun Yita sibuk memandang pohon rindang di depan sana. Menekuri lamat ciptaan Tuhan yang satu itu. Suara jangkrik pun mendominasi, khas suasana pedesaan di malam hari, padahal jika dipikir-pikir rumah Ulung masih terbilang kota, hanya butuh sekitar lima belas menit untuk sampai ke pusat keramaian.

“Apa yang aku alami siang ini … kamu pernah mengalaminya, Ta?” Latu membuka suara tanpa menoleh sedikit pun, merapatkan cardigan karena suhu cukup menusuk.

“Iya, tapi tidak lagi ketakutan seperti kamu,” jawab Yita padat.

Perlahan kepala Latu menoleh, memandang Yita sambil mengerjap sesekali. “Aku tadi mencari tahu di internet. Sabbe sankhara anatta, segala sesuatu itu adalah tanpa aku. Nggak ada aku, sejatinya aku-aku yang diucapkan orang-orang itu cuma akuan semata, nggak ada aku yang benar-benar punya eksistensi, itu kesimpulan yang aku pikirkan.”

Senyum tipis tersungging di bibir Yita. Tak terkejut lagi mendapati Latu belajar secepat itu.

“Tapi yang jadi pertanyaan Ta, jadi … aku yang sebenarnya itu siapa? Bagaimana aku menyebut diriku, tanpa menjadi makhluk yang mengaku-ngaku atas akuan palsu? Lalu, aku … fisikku ini apa?”

Hening untuk beberapa saat, Yita berpikir keras untuk memilah kata guna memberi tahu Latu isi pikirannya yang agaknya juga rancu. “Tu, kita ini hakikatnya hanya ciptaan, kamu percaya itu, kan?”

Latu mengangguk mantap. Ia masih memegang kepercayaan itu dengan baik.

“Kita ini hanya butiran kecil bentuk manifestasi dari Tuhan, diri Tuhan. Apa yang bisa kita sebut sebagai ‘aku’ sedang kita adalah bagian dari-Nya, yang secara total adalah milik-Nya? Coba katakan, Tu.”

EhipassikoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang