"Mas Kinn gimana, sih? Masa' pesawat delay nggak ngabarin? Aku udah kadung nongkrong di bandara ini, mana perjalanan Turki-Arab bisa sampai empat jam." Latu tak henti mengomel di telepon. Bayangkan saja, ia kira Kinn sudah hampir tiba mengingat jadwal penerbangan yang dikatakan lelaki itu kemarin. Sengaja menunggu lebih awal, rupanya penerbangan Kinn tertunda tiga jam lamanya, tanpa mengabari. Bagaimana ia tak kesal.
"Kau kesal pada kakakmu dan mengomel padaku? Luar biasa, Latu," balas seseorang di seberang.
"Aku ini curhat, Zeynab, bukan mengomel."
"Sama saja. Sudah ah, kelasku sudah mau mulai. Selamat menunggu, assalamu'alaikum." Zeynab memutus panggilan tanpa menunggu balasan.
Desahan panjang lolos dari bibir Latu. Memandang layar ponsel dengan tatapan pasrah.
"Masa aku harus nunggu di sini dua jam? Mana lowbat."
Latu memutuskan menunggu di luar, sambil berjalan-jalan. Di sana, ia bisa menyaksikan banyak jamaah umroh lalu-lalang, datang dan pergi.
Di salah satu sudut bandara yang tak terlalu ramai, ia sengaja duduk, mulai mengeluarkan laptop yang untung dibawanya. Semoga saja tidak kena usir. Ia mengerjakan tugas esai yang belum selesai disusun sejak kemarin, tenggelam dalam rangkai tulisan berbahasa Inggris-Arab, tugas juga jurnal yang dijadikannya referensi.
Satu jam berlalu, Latu meregangkan tubuh yang kaku. Menyimpan file tugas setelah menyelesaikannya barusan. Dilihatnya jam tangan putih yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, masih ada sisa satu jam. Apa yang kiranya harus ia lakukan untuk membunuh waktu?
Ingat belum memeriksa email seharian, Latu beralih pada laman emailnya. Beberapa pesan masuk dari teman-teman zaman kuliah S1 dulu, yang sukses membuat Latu mendengkus, "Dasar kuno. Ada WhatsApp malah lewat email."
Menggulir kursor semakin ke bawah, ia menemukan nama seseorang yang cukup menyita perhatian. Kapan pesan itu ia terima? Kenapa ia baru melihatnya? Tertulis, dua minggu yang lalu. Latu melewatkan yang satu itu.
Dibukanya email tersebut. Dalam subject tertulis, "Assalamu'alaikum, Mbak Latu. Ini aku, Sarira. Maaf menghubungi lewat email, aksesku ke kamu tiba-tiba nihil. Aku tidak tahu medsosmu, tidak juga nomor barumu. Bertanya pada Mas Ulung dan Mas Yita juga tidak membuahkan hasil. Katanya, kamu bak hilang tertelan bumi setelah hari itu. Untung saja, akhirnya aku berhasil mendapat alamat emailmu dari Gea, Mbak. Omong-omong, dia juga kesulitan mendapatkannya, katanya."
Latu mengembuskan napas panjang. "Pasti Gavin," gumamnya.
Kembali dibacanya pesan tersebut. "Aku hanya mau mengabari, Mbak Latu. Alhamdulillah, aku menikah tiga bulan lalu, maaf baru memberitahu, doakan rumah tanggaku selalu dalam keberkahan ya, Mbak. Oh iya, ini aku lampirkan juga foto pernikahanku, semoga kita bisa segera bertemu, aku ingin menyampaikan banyak hal pada Mbak Latu."
Latu menggeser pelan jarinya yang berada di atas mousepad, mengarahkan kursor untuk membuka foto yang dilampirkan Sarira. Saat foto itu terpampang, Latu langsung menahan napas, hatinya mencelos seketika. Lelaki itu ... ia sudah mempersiapkan hati untuk hal seperti ini sejak keputusan beraninya, tetapi tetap saja, kenapa rasnaya begitu sesak?
"Dayita ... kenapa nggak ada yang kasih tahu aku?"
Segera diusapnya kasar pipi yang entah sejak kapan sudah basah di balik cadar. Latu lantas mematikan laptop dan beranjak, tak ingin lebih lama tenggelam dalam foto itu. Ini terlalu, menyesakkan. Siapa yang menduga?
Latu kembali ke dalam, berjalan gontai menuju terminal kedatangan guna menjemput Kinn yang sebentar lagi pasti akan landing. Beberapa kali, meski sudah coba ditahan, air mata Latu tetap jatuh, lagi dan lagi. Hampir sampai, Latu tak bisa lagi menahan diri. Ia berjongkok dan menenggelamkan wajah pada telungkupan tangan yang bertengger di atas lutut, terisak tanpa suara. Lalu lalang bandara, seolah menjadi saksi, luluh lantaknya hati Latu Ja Wretika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ehipassiko
General FictionApa yang bisa dikukuhkan lewat pemahaman dogmatis? Tak ada, setidaknya begitu menurut Latu. Perempuan berjiwa bebas itu tak menemukan urgensi dari beragama--atau mungkin belum. Menjadi mahasiswi Sastra Jawa barangkali menjadi salah satu jalan baginy...