30. Ambisi Kaum Marjinal

132 21 3
                                    

"So, in your opinion, what should Gea do to make what she explained and the mysticism connected, Latu? Mengomentari tanpa memberi solusi rasanya percuma, sangat disayangkan."

(Jadi, dalam pendapatmu, apa yang sebaiknya Gea lakukan untuk membuat apa yang dia jelaskan dan mistikisme terhubung?)

Arah pandang langsung tertuju pada Yita, meski si empu buka suara baru saja, tak mengalihkan pandang sedikit pun dari jalanan di depan sana. Kali ini menikmati suasana malam Kota Semarang sepenuhnya.

"Ya ... contoh kecil gini. Dari sudut pandang wong cilik, ya, sikap setia dan patuh mereka pada para bangsawan dan majikan itu bisa dimaknai ke arah religiusitas, loh. Menjunjung tinggi rasa hormat pada yang kedudukannya lebih tinggi, sama halnya penghambaan manusia pada Dzat yang lebih tinggi.

"Kaum marjinal, meskipun di sana dikisahkan nggak mendapat pendidikan layaknya kaum bangsawan, tapi mereka bisa punya budi pekerti yang luhur, tutur yang halus, manut tanpa tanya serta protes ini-itu, dan itu didasari pada rasa penyerahan diri kepada penguasa. Itu sikap yang sama, yang seharusnya kita miliki ketika berhadapan dengan entitas Tuhan. Menurutku sisi mistiknya bisa diutak-atik dari sana." Latu mengakhiri penjelasan panjangnya dengan mengedikkan bahu.

Kekehan Yita lolos dan itu sukses membuat Latu mengernyitkan dahi.

"Tanpa tanya dan tanpa protes ini-itu. Berarti, kita masih sama seperti kaum hedonis dalam novel itu ya, Tu? Ke sana kemari mencari Tuhan, banyak tanya untuk hal yang seharusnya cukup diyakini, banyak protes dalam banyak hal yang menurut kita tidak sesuai dengan apa yang kita pikirkan. Terlalu angkuh bermain logika padahal itu pun dianugerahi Yang Mencipta. Kita foya-foya dalam gemerlap yang kita sebut dunia, sok mampu menjelajah waktu padahal fana. Tidakkah kamu merasa kita seperti itu, Latu?"

Entah sejak kapan liquid bening itu meluncur bebas membasahi pipi Latu. Tangan-tangannya mengepal kuat dengan rahang mengetat sama kuatnya. Ia tak hanya tersentil, rasanya seperti habis dibogem tepat di ulu hati. Yita ... benar.

Yudha dan Gea juga ikut menunduk dalam, tak menyangka akan sejauh ini.

Si tersangka malah memejamkan mata, merasakan degup jantung juga alir darah dalam nadi yang berdesir hebat. Tanpa sadar, bibir yang semula terkatup kembali terbuka, mengucapkan satu lafaz berulang yang bahkan tak pernah ia niatkan sebelumnya, "Allah, Allah, Allah ...."

"Yita, kamu ...." Latu tak bisa meneruskan kalimatnya, terlebih mendapati lelaki itu juga menangis.

Malam ini, semuanya jelas di mata Latu Ja Wretika. Sikap Yita, kegelisahan lelaki itu, ia paham sekarang.

-o0o-

Dengan kantung mata menghitam, Latu berjalan dengan tatapan kosong di belakang Yita. Setelah semalaman tak tidur sedetik pun, pagi ini ia memilih ikut lelaki itu mengunjungi sang kawan di rumah sakit yang kemarin tertunda. Gea dan Yudha tak jadi ikut, tiba-tiba mereka harus ke kampus untuk urusan bimbingan dan Yudha menyelesaikan administrasi untuk wisuda. Jadilah Latu dan Yita pergi berdua.

"Aduh!" ringis Latu begitu menabrak punggung Yita, membuat lelaki itu menoleh. "Kalau mau berhenti bilang-bilang dong, Ta."

"Kamu yang melamun."

Mereka baru berjalan beberapa meter dari parkiran motor. Yita yang tak mungkin membiarkan Latu ambruk perkara begadang dan belum sarapan, memutuskan berbalik arah.

"Loh, loh, ke mana? Kan arahnya udah bener ke sana tadi," protes Latu.

Yita kembali berhenti. "Kita cari sarapan dulu, kamu belum makan."

"Ini sih bukan sarapan, Ta. Udah masuk makan siang. Udah jam sepuluh." Latu sangat ingin menolak karena ia sungguh tidak lapar. Namun melihat ekspresi Yita yang tampaknya tak ingin dibantah, ia urung, memilih menyusul dan berjalan di sampingnya kali ini.

EhipassikoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang