Berdiri di depan gerbang kos Gea, Yudha dan Gea sendiri siap mengucapkan sampai jumpa lagi pada Latu dan Yita. Perjumpaan singkat tiga hari kemarin cukup meninggalkan kesan yang dalam, terutama bagi Gea yang merasa sangat terbantu perihal skripsi.
Dalam balutan jaket dan celana jeans-nya, sekali lagi Latu memeluk Gea, memberikan tepukan ringan di punggung perempuan itu. "Makasih ya Ge, udah mau nampung aku."
"Aku capek sih sebenernya denger kata makasih, tapi ... sama-sama, Mbak. Jangan lupain aku, loh." Keduanya mengurai pelukan. "Kapan-kapan, kalau ada waktu luang, main-main lagi ke rumah Mas Ulung, biar bisa ketemu aku juga. Rumahku deket dari sana, kok. Beda kecamatan doang."
Latu tersenyum, lantas beralih pada Yudha. "Makasih juga ya, Yudh. Udah mau diajak main sama kita."
Yudha mengangguk. "Yoi Mbak, kapan-kapan meet up lagi kita kalau emang aku masih di Jawa."
Ucapan terima kasih ganti bergulir dari bibir Yita pada dua orang mahasiswa yang belum resmi wisuda itu.
"Nanti kabar-kabar kalau udah sampai Kanada, Mas. Kalau lihat bule bening, bisa lah call gue, kali aja jodoh gue emang nyasar di Kanada." Yudha mengakhiri kalimatnya dengan kekehan.
Gea mendengus, begitupun Latu. Boys will be boys.
Menoleh pada Gea, Latu sengaja berujar, "Ge, kamu juga buruan selesaiin skripsi, kasian Mas TNI di Jogja, lamarannya kamu gantung karena nunggu lulus."
Yudha menggeram, mengumpat pelan sambil menajamkan mata, "Shit!"
Gea menahan tawa, sedang Latu tersenyum penuh kemenangan. Diangkatnya dagu tinggi ke arah Yudha.
"Beneran, Ge?" Yudha ganti melotot, tetapi sorotnya berubah nanar. "Beneran kamu udah dilamar?"
"Mampus!" ejek Latu lirih.
"Your word, Latu," peringat Yita, membuat Latu meringis.
"Sorry."
Mengikuti pembawaan Latu, Gea tersenyum bangga, mengangguk mantap.
Bahu Yudha turun seketika. "Fiks, Mas. Cariin gue cewek Kanada aja. Dia nggak mau nunggu gue ngucap syahadat."
Satu pukulan keras mendarat di lengan atas Yudha. Gea. Lelaki itu langsung mendesis. "Sakit, Ge."
"Sembarangan banget ngomongnya. Dikira pindah agama segampang itu? Nggak usah dijadiin mainan." Gea memberengut.
"Salah lagi gue."
"Ya sudah, kami pamit sekarang, ya. Keburu siang," pamit Yita, membuat Gea dan Yudha mengangguk.
Yita naik ke atas motor setelah memakai sarung tangan, lantas menyerahkan helm milik Latu.
"Jaga-jaga masker, Mas, Mbak. Daerah RS. Sultan Agung ke Sayung, Demak banyak perbaikan jalan, debu parah. Apalagi kalau udara panas." Gea membantu membawakan helm Latu saat perempuan itu memakai sarung tangannya.
Latu mengulurkan tangan, meminta helmnya kembali. "Aman, Ge. Ada di tas. Sementara gini aja dulu, sayang kalau udara pagi Gunungpati nggak dinikmati, masih seger banget soalnya. Nanti deket-deket sana baru pakai."
Gea mengangguk.
"Titip tawashul ke Sunan Kalijaga sama Sunan Kudus," lanjut Gea.
Latu mencebikkan bibir. "Jangan becanda deh, Ge. You know my situation."
Segera Yita menyambung, "Aku yang bertawashul nanti, Ge. Kusampaikan salammu pada beliau."
Gea langsung mengangkat dua jempolnya dan tersenyum lebar, sedang Latu yang masih kesulitan memasang helm menjatuhkan rahang bawah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ehipassiko
General FictionApa yang bisa dikukuhkan lewat pemahaman dogmatis? Tak ada, setidaknya begitu menurut Latu. Perempuan berjiwa bebas itu tak menemukan urgensi dari beragama--atau mungkin belum. Menjadi mahasiswi Sastra Jawa barangkali menjadi salah satu jalan baginy...