Maruta meraih buku di atas meja tamu dengan kening berkerut. Mendudukkan diri pada sofa sebelum membolak-balik halamannya. Tak lama, Aeera muncul dari balik sekat ruangan dengan secangkir kopi di tangan.
"Latu sudah pulang?" Lelaki itu mendongak, menatap sang istri lekat.
Setelah meletakkan cangkir kopi perlahan, Aeera ikut duduk. Memilih sofa single alih-alih duduk di samping Maruta di sofa panjang. "Sudah, hampir subuh tadi kalau nggak salah."
Maruta mengangguk sebelum kembali fokus pada buku di tangannya. Melihat buku tersebut sudah kehilangan bungkus, sudah dipastikan Latu yang membuka, tak menyangka sang putri akan penasaran.
"Ra?"
"Ya?"
Maruta tersenyum hangat, amat lebar hingga matanya menyipit. Ia menunjukkan buku tersebut, memperlihatkan sampulnya. "Kamu ingat Laith?"
"Yang pernah nemuin kita karena tulisan Harsa?" Pertanyaan Aeera langsung mendapat anggukan sang suami. Namun, ia justru kebingungan. "Lalu, apa hubungannya dengan buku itu?"
"Ini kiriman dari Laith, untuk kita. Sebelum mengirim ini, dia sempat menghubungiku. Katanya, dia sudah lama tinggal di kompleks yang sama dengan Harsa." Maruta terkekeh mengingat pertemuan pertamanya dengan lelaki itu, sudah belasan tahun berlalu. "Lucu, bukan, bagaimana dia berakhir hidup dekat dengan seseorang yang dikaguminya dulu?"
Mau tak mau Aeera ikut terkekeh, ikut mengingat sesuatu. "Aku juga berakhir hidup dengan seseorang yang bahkan pernah membuatku sekeluarga patah hati, Mas. Kamu lupa?"
Tenang Maruta mengangguk, meraih cangkir kopi sembari tersenyum geli. Disesapnya cairan pahit-manis itu perlahan, ditemani ingatan-ingatan yang mulai hilir mudik di kepala. "Kamu belum paham apa maksudku, Aeera?"
Dahi wanita itu berkerut seketika, Maruta mulai lagi. "Memang, apa maksud kamu kali ini, Mas?"
"Latu ... aku harap kamu tidak terkejut nantinya, Aeera."
Semakin dalam kerutan di dahi wanita itu. Pangkal alisnya tertaut sempurna. "Latu? Kenapa sama dia?"
"Lihat saja nanti, kamu akan tahu. Anak itu benar-benar mirip kamu, Aeera."
Ah ... Maruta tak pernah sekali pun berubah jika itu berkaitan dengan keambiguitasannya.
Suara lantang tiba-tiba terdengar disertai langkah kaki yang terdengar amat heboh. Latu mendekat sambil berjingkrak. Wajah anak itu sudah segar setelah mandi, meski kantung matanya tak pernah bisa bohong jika ia selalu kekurangan tidur. Seakan sudah menjadi ciri fisiknya mata panda itu.
"Pagi, Ayah, Mama," sapanya.
"Kamu mau ke mana lagi? Rapi banget pakai kemeja gini? Kampus?" cecar Aeera.
Gadis itu menggeleng mantap. "Mau jalan aja, refreshing."
"Orang refreshing itu biasanya setelah banyak mikir, kamu malah sebelum sidang skripsi."
"Yang penting refreshing-nya Latu tuh ke tempat-tempat yang normal, Mama. Nggak kayak Mama, refreshing kok malah visit Yesus, Budha, sama Allah? Maruk banget." Tanpa rasa bersalah kalimat itu terlontar, membuat Maruta mati-matian menahan bibirnya yang berkedut. Sedang, Aeera sudah melotot lebar.
"Latu." Meski demikian, lelaki itu tetap memperingatkan sang putri dengan halus.
"Iya, maaf. Kalau gitu, Latu pergi dulu, ya."
Aeera melipat tangan di depan tubuh. "Tunggu, sama siapa kali ini? beneran sendiri?"
"Nggak, dong." Dengan bangga Latu menepuk dada. "Aku nggak jomblo kali ini. Udah janjian sama Yara."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ehipassiko
General FictionApa yang bisa dikukuhkan lewat pemahaman dogmatis? Tak ada, setidaknya begitu menurut Latu. Perempuan berjiwa bebas itu tak menemukan urgensi dari beragama--atau mungkin belum. Menjadi mahasiswi Sastra Jawa barangkali menjadi salah satu jalan baginy...