38. Huwa La Huwa

168 35 14
                                    

"Keadaan Aku (Tuhan) dulu adalah khazanah tersembunyi. Aku mendambakan untuk dikenal maka Kuciptakan makhluk sehingga dengan-Ku mereka mengenal-Ku. Itu arti yang tadi, kalimat yang sangat terkenal di kalangan para Sufi, tapi aku tidak tahu itu termasuk hadits atau bukan, ada pro dan kontra." Yita memilih duduk lesehan di bawah, di rerumputan, dengan dua tangan menumpu ke belakang. "Mungkin Papa tahu?"

Ikhtar menggeleng. "Menurut Ibnu Taimiyah itu bukan hadits, sanadnya tidak shahih maupun dhaif. Tapi beberapa pembahas Tasawuf mengatakan bahwa itu hadits Qudsi merujuk pada kitab Ibnu Araby, al-Futuat al-Makkiyah juga kitab Abdul Karim Ibnu Ibrahim al-Jili, Lisan al-Qadr Binasim al-Sihr, dan al-Sya'rany, al-Thabaqat al-Qubra."

"Kok Papa Ikhtar bisa sehafal itu, sih?" celetuk Latu, menyuarakan rasa penasarannya.

Baik Yita maupun Ikhtar terkekeh kecil. "Istri saya, mamanya Yita itu, tergila-gila pada ilmu Makrifat dan Tasawuf, Latu. Hidup bersama kurang lebih seperempat abad, belum termasuk saat kami berteman zaman menempuh studi, kamu pikir sudah berapa ratus kali saya diajak diskusi hal yang sama?"

Latu ikut tertawa. Mamanya dan sang ayah juga sering berdiskusi begitu jika dipikir-pikir, meskipun lebih banyak membahas Filsafat secara umum.

"Jadi, maksud yang tadi apa, Pa? Tuhan dulunya adalah khazanah tersembunyi."

"Begini, Latu. Mari kita sedikit membahas tentang pembedaan 2 level ketuhanan milik Ibnu 'Arabi. Dalam karya beliau yang berjudul Fushus al-Hikam, disebutkan istilah 'al-ilah al-muthlaq', Tuhan Yang Mutlak. Maksudnya di sini adalah Tuhan yang sama sekali tidak bisa ditembus oleh nalar dan panca indra manusia, sebagaimana 'Lā tudrikuhul-abṣāru', Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan Mata. Tidak ada bahasa manusia mana pun yang bisa digunakan untuk merumuskan, mendeskripsikan Tuhan. Ini yang disebut orang Jawa dengan Tuhan itu tan kinaya ngapa, tidak bisa digambarkan dengan deskripsi apa pun." (Q.S. Al-An'am: 103)

Yita mengubah posisi duduk menjadi bersila.

"Di level yang kedua ada 'ilahu-l-mu'taqadat', Tuhan yang mulai bisa dipahami manusia dengan nalar terbatasnya. Di level ini, kita baru berbicara tentang akidah, berbicara tentang Tuhan yang bisa dikenali melalui asma' atau nama, shifat atau sifat, dan af'al atau perbuatan.

"Dan kuntu kanzan makhfiyyan terkait dengan 2 level ketuhanan tadi, Latu. Tuhan tidak bisa dinalar karena ideal-Nya memang begitu, menjadi Dzat yang Mukhalafatu lil hawadits. Tapi Tuhan juga masih bisa dikenali lewat asma', shifat, wa af'al-nya agar manusia paham untuk apa mereka ber-Tuhan."

Pikiran Latu seolah kosong, meskipun aslinya penuh berjejal. Ingin menyaring beberapa, rasanya yang disampaikan Yita daging semua, penting.

"Belajar mengenal Tuhan seperti ini, bukan berarti kita boleh merasa paling mengenal Tuhan, sok-sokan tahu tentang Tuhan, loh. Yang harus kita ingat, tetap rendah hati, merasa bodoh, pengetahuan kita tidak ada apa-apanya dibanding pengetahuan Tuhan yang menyeluruh. Apa pun yang kita tahu tentang Tuhan, Tuhan akan selalu melampaui itu."

Latu mengangguk penuh semangat. "Latu paham, Pa. Terima kasih. Kalau begitu, apa bukti yang Papa temukan hingga sepenuhnya mempercayai Tuhan?"

"Kamu tidak ingin tahu bukti apa yang berhasil ditemukan Yita?" Ikhtar bertanya balik seraya melirik sang putra. "Dia sudah menemukannya, kan."

Sejenak Latu tampak berpikir. Sejujurnya ia juga ingin tahu apa yang membuat Yita kembali, tetapi jawaban Ikhtar lebih membuatnya penasaran. "Oke, Yita dulu, tapi nanti aku juga ingin dengar jawaban Papa."

Ikhtar menggelengkan kepala tak habis pikir.

"Jadi, apa, Ta?" tanya Latu.

"Alam semesta," jawab Yita singkat.

EhipassikoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang