9. Latu Ja Wretika

167 34 2
                                    

Sampai di dalam, entah untuk keberapa kali Latu dibuat menganga. Dinding rumah itu bak penuh rak yang tentu penuh pula dengan buku. Hampir tak ada ruang kosong dinding. Latu bahkan berani bertaruh, beberapa bufet yang ada pun pasti penuh buku di dalamnya.

"Mama likes reading sejak masih muda, begitupun Ayah," jelas Yita tanpa diminta saat gadis itu berhasil menyusul. Tangannya lantas menunjuk satu sudut rumah. "Dulunya sudut baca ada di sana, hanya berupa pustaka kecil. Namun lambat laun, seperti yang kamu lihat, satu rumah penuh buku. Ini belum termasuk buku-buku Mama yang ada di rumah Kakek."

Latu masih dibuat takjub. Rupanya, ada yang lebih parah dari mamanya jika berurusan dengan mengoleksi buku. "Ini nggak pernah dikurangin? Kayak disumbangin gitu."

"Sudah sering, Mama rutin kirim-kirim buku yang sudah tidak dibacanya ke rumah-rumah baca di sekitar sini. Namun tetap saja, setidaknya seminggu tiga kali, pasti akan ada kiriman buku baru. Paling mengherankan, Mama jarang membeli sendiri, rata-rata kiriman dari teman-teman Mama sebagai hadiah, juga ... dari mantan para penghuni kamar-kamar itu."

"Enak banget, nggak beli. Aku kalau pengen buku harus rayu Mas Kinn dulu. Itu pun sebulanan baru diturutin."

Yita terkekeh. Ia lantas menghempaskan tubuh ke sofa saat sampai di ruang keluarga.

"Kamu nggak berusaha mangkir dari pertanyaan aku yang tadi, kan? Penghuni kamar-kamar itu." Latu memandang Yita yang sudah duduk dengan tatapan penuh selidik.

"Sebagian dari mereka mantan PSK." Tiba-tiba Zaa sudah ikut duduk di sofa panjang. Jawabannya sukses membuat Latu berjengit. Wanita itu lantas menepuk tempat di sampingnya. "Duduk, Latu."

Latu menurut.

"Sebagian lagi korban pelecehan yang nggak diterima di lingkungan hidup mereka."

Hati Latu mencelos. "Jadi, anak-anak kecil tadi ...."

Zaa mengangguk seraya tersenyum. "Iya, mereka lahir tanpa ayah. Ibu mereka korban."

Dengan gerakan pelan Latu menoleh pada Yita, lelaki itu menyunggingkan senyum sendu.

"Sejak dulu, banyak yang datang ke sini untuk meminta bantuan. Dari mulut ke mulut, mereka tahu bahwa saya bisa memberi solusi lewat relasi-relasi saya. Ada yang karena nggak mau berakhir menikah dengan pelaku, juga seperti yang saya bilang, nggak diterima oleh keluarga.

"Karena itu, saya mendirikan tempat ini, membiarkan mereka sembuh secara fisik maupun batin, meski saya yakin nggak akan bisa 100 persen. Juga, bersama teman-teman saya, kami mengusahakan agar mereka memiliki bekal cukup untuk kembali ke masyarakat. Saya ingin mereka tahu, bagaimanapun, mereka bukan manusia rusak, bukan sampah masyarakat, mereka adalah manusia berharga yang berhak bahagia."

Lidah Latu kelu. Perjalanan apanya, dengan berdiam di rumah Yita saja tampaknya ia akan mendapat sangat banyak pelajaran hidup. Jika saja Latu mau mengorek satu per satu kisah perempuan-perempuan itu, bisa dipastikan, perasaannya akan terkoyak habis.

"Papa Yita!" Seoarang anak lelaki berusia empat tahun tiba-tiba berteriak, menabrakkan diri ke arah si empu nama setelah lelaki itu merentangkan tangan. Itu anak yang sama dengan yang dilihat Latu bersama Yita tadi.

Jelas itu membuat Latu melotot lebar, menatap anak itu penuh sorot permusuhan. Apa-apaan, papa?

"Already miss me, huh? Kita baru keliling bersama tadi, Zaki." Lelaki itu langsung memangku Zaki tanpa ragu.

Tak berapa lama, muncul lagi seorang perempuan dengan ekspresi bersalah. Jika Latu perhatikan, sepertinya mereka sebaya.

"Ma-maaf, saya tidak mengawasi Zaki dengan b-baik. Melihat Mas Yita masuk rumah tadi, dia langsung berlari ke sini. Saya minta maaf." Perempuan itu berujar dengan tergagap. Dua tangannya tertaut erat, Latu bahkan bisa melihat perempuan itu memainkan kuku, tampak sangat merasa bersalah.

EhipassikoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang