Usai minum dan membereskan sampah, dengan tangan tertumpu ke belakang Latu berucap, "Oh iya, aku baru tahu kalau selama ini kamu rajin telepon Ayah sama Mama."
"Sekadar say hello dan menanyakan kabar karena kamu jarang mengabari mereka." Yita mengedikkan bahu tak acuh.
Latu meringis. "Thanks, pantesan Mama anteng-anteng aja selama aku pergi. Udah ada mata-mata ternyata."
Kekehan lolos dari bibir Yita. "Bukan mata-mata, Tu. Dengan mengajak kamu pergi, artinya aku bertanggung jawab atas kamu. Aku diamanahi Om Maruta dan Tante Aeera untuk menjaga kamu, sudah sewajarnya aku tetap terhubung dengan mereka, dengan atau tanpa sepengetahuan kamu."
"Iya-iya, percaya."
"Yuk, naik sekarang," ajak Yita, "sudah masuk jam berkunjung."
Latu mengangguk.Kembali menyusuri koridor, mereka berbelok ke salah satu gedung.
"Masih ada tempat di Semarang yang ingin kamu kunjungi, Tu? Sebelum kita lanjut," tanya Yita begitu keduanya sampai di depan pintu lift, menunggu.
"Nggak, sih. Emang mau lanjut kapan?"
Lift terbuka. Keduanya menunggu sejenak orang-orang yang hendak keluar lift, lantas mereka masuk. Yita memencet angka 2.
"Besok?"
Sejenak Latu tampak berpikir, sebelum kembali angkat bicara. "Kita ke mana lagi?"
"Kali ini aku membiarkan kamu memilih." Pintu lift terbuka, Yita keluar diikuti Latu.
"Kalau gitu, aku pikir-pikir dulu, ya?" Melihat Latu di sampingnya, Yita tersenyum dan mengangguk. "Temen kamu di ruang apa?"
Kali ini lelaki itu mengalihkan pandang ke arah kanan. "Kepodang, nomor 4."
Cukup lengang, hanya ada dua perawat di nurse station yang berada di tengah-tengah. Tata ruang yang diatur mengelilingi nurse station, membuat keduanya melihat leluasa nomor-nomor kamar yang tergantung di atas masing-masing pintu. Ruang rawat inap kelas 2 itu didominasi putih, layaknya rumah sakit pada umumnya.
Keduanya mendekat ke meja perawat jaga. Sekadar lapor bahwa mereka adalah tamu. Barangkali ada prosedur besuk yang harus dilakukan.
"Kamar pasien atas nama Mayaratri Agnia?" ucap Yita begitu seorang suster menyambut keduanya.
"Silakan Pak, kamar nomor 4. Jam besuk berakhir pukul 13.00 WIB, ya."
"Terima kasih." Setelah mengatakannya, Yita langsung mengajak Latu menuju ruangan yang dimaksud.
Begitu membuka pintu ruangan, keduanya langsung bisa melihat bahwa satu ruangan terdiri dari dua bed pasien dengan masing-masing overbed untuk penunggu. Dipisahkan oleh tirai berwarna krem. Ruangan itu dilengkapi AC juga televisi yang Latu yakin jarang dinyalakan. Seberapa berumur seseorang di zaman sekarang, Latu yakin lebih tertarik pada ponsel, kecuali menggunakan televisi digital itu untuk menonton Netflix, mungkin.
"Selamat pagi, Maya," sapa Yita begitu melihat perempuan berpipi tembam itu bersandar pada brankarnya yang ditinggikan di bagian kepala, tengah memakan potongan buah apel.
"Oh!" seru perempuan itu dengan mata berbinar. "Dayita, long time no see. Kukira nggak jadi datang."
Perempuan itu merentangkan tangan, yang mau tak mau membuat Yita mendekat, memberinya pelukan ringan. Setelah melepas pelukan, Yita melirik Latu yang tersenyum canggung. "Oh, aku bersama teman, Maya. Kenalkan, she's Latu."
Perempuan itu amat ramah dan ceria di mata Latu. Terbukti dengan ucapannya setelah dikenalkan pada Latu oleh Yita, juga sambil merentangkan tangan. "Hello, Latu. Wanna gimme hug?"
![](https://img.wattpad.com/cover/325659467-288-k132558.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ehipassiko
General FictionApa yang bisa dikukuhkan lewat pemahaman dogmatis? Tak ada, setidaknya begitu menurut Latu. Perempuan berjiwa bebas itu tak menemukan urgensi dari beragama--atau mungkin belum. Menjadi mahasiswi Sastra Jawa barangkali menjadi salah satu jalan baginy...