22. Dua Sisi

133 23 7
                                    

“Kali ini kita ke mana, Ta?” Baru saat mereka melewati perbatasan Yogyakarta-Magelang, Latu membuka suara. Sejak tadi ia hanya menikmati suasana sejuk Jogja di pagi buta, melihat kanan dan kiri dengan khidmat.

“Semarang, Ulung punya saudara yang kuliah semester akhir di sana. Nanti kita bisa minta tolong temani berkeliling di Semarang,” jelas Yita.

“Cewek atau cowok?” Perempuan itu menjulurkan kepala hingga sejajar dengan kepala Yita, menatap lelaki tersebut dari samping penuh minat.

Sebelah alis Yita terangkat tinggi. Ia ikut melirik Latu. “What do you expect?” selidiknya. (Apa yang kamu harapkan?)

“Aku berharap saudara Ulung itu cowok, sih. Biar posisi aku di mata kamu nggak ada saingan.” Latu menyengir, menampilkan deretan gigi putihnya. 

“Dan kamu membiarkan aku punya saingan?” goda Yita.

Meski tahu Yita bercanda, tetap saja Latu cemberut. Seolah ia ini mudah tertarik pada seseorang saja. “Bukan gitu, dong. Ya abis, tahu kamu minta ngobrol berdua sama Sarira semalam aja udah buat aku panas. Emang kalian ngobrolin apa, sih?”

Mendengar pengakuan kelewat jujur Latu, Yita tertawa. Sengaja ia memberikan benturan kecil antara helm miliknya dengan helm yang dipakai Latu. “Rahasia.”

“Ngeselin.” Latu balas melakukan hal yang sama, pelan. “Aku serius tanya loh, Ta. Dia cewek apa cowok?”

“Perempuan,” kata Yita, “nanti kamu bisa menginap di kosnya dan aku cari penginapan lain di dekat sana.”

Latu mendesah kecewa. “Iya, deh.”

Don’t be mad. Kamu tidak tahu saja kalau sainganku lebih berat.” (Jangan marah)

“Hah?!” Sungguh, Latu ingin memastikan pendengarannya karena suara Yita lolos bersamaan dengan bunyi klakson truk di depan mereka.

Bukannya menjawab, Yita malah memilih abai, tak ingin mengulangi. Ia membiarkan Latu tenggelam dalam rasa penasarannya.

Tiga jam melakukan perjalanan, mereka memutuskan berhenti untuk istirahat di sebuah minimarket semua umat. Membeli beberapa makanan ringan juga dua kaleng minuman soda.

“Asli, tadi gimana maksud kamu, Ta?” Latu tentu tak melupakan begitu saja rasa penasarannya, segaja menunggu waktu yang tepat.

Which one?” Sebelah tangan Yita lihai membuka sekaleng soda, lantas mengangsurkannya pada Latu, sebelum kembali membuka untuk dirinya sendiri. (Yang mana?)

Latu tersenyum kecil sebelum berujar, “Terima kasih. Yang tadi loh, Ta. Yang kamu bilang saingan kamu lebih berat, siapa? Aku nggak ngerasa ada yang deketin.”

“Tidak terlihat bukan berarti tidak ada,” jawab Yita santai, “malaikat maut, misal.”

Tanpa aba sepotong keripik songkong mendarat di kepala Yita, ulah Latu yang gondok tiba-tiba sebab mendengar jawaban kelewat serampangan lelaki tersebut. “Ternyata kamu bisa super jail juga ya, Ta.”

Yes, I am.” Bukannya marah, Yita justru tertawa menanggapi Latu.

Tak ingin tambah kesal, perempuan itu memilih mengutak-atik ponsel, membuka aplikasi berwarna abu sebab Latu mengaplikasikan pula tema pada ikon ponsel. Diputarnya sebuah lagu dengan volume sedang, cukup sampai ke rungu keduanya. Setelah intro yang cukup panjang, suara Sal Priadi langsung mengalun merdu, disusul menenangkannya suara Nadin Amizah.

Tak ada yang bersuara, memilih menikmati Amin Paling Serius ditemani suara hilir mudik pengunjung minimarket yang lain. Sesekali Latu memejamkan, lantas kembali menyapukan pandangan ke sekeliling.

EhipassikoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang