Tidak! Yita sama sekali tidak berniat menguping pembicaraan Ulung dengan sang ibu di dapur. Namun apa mau dikata, ia mendengar semuanya dengan jelas dari kamar lelaki itu yang pintunya memang langsung menghadap dapur.
"Ulung buntu, Buk. Ulung nggak tahu harus bagaimana lagi menghadapi Sarira setelah ini." Suara Ulung sedikit bergetar, barangkali menahan amarah jua kefrustrasian.
"Le, Sarira itu perempuan kuat. Jangan mengasihani dia hanya karena kematian ibunya. Kamu tahu, toh? Jangan gegabah mengambil tindakan, apalagi karena kasihan."
Yita tak paham, sama sekali tidak sebelum terdengar helaan napas berat Ulung yang lagi-lagi sampai ke dalam kamar.
"Justru karena Ulung tahu, Sa nggak sekuat itu, Buk! Ulung juga benci kasihan terus-menerus sama Sa. Andai Ulung bisa hilangin rasa kasihan itu, mungkin Ulung nggak akan bersikap sedingin itu sama dia selama ini. Itu semata membatasi diri Ulung sendiri dari memupuk rasa kasihan ke Sarira, tapi sekarang, Ulung nggak tahu lagi harus gimana."
Secara garis besar, Yita tahu alasan Ulung. Kali ini benar-benar batasnya menguping setelah Ulung berganti bicara dengan bahasa Jawa halus, ia tak paham. Yita lantas memutuskan mendekat ke nakas samping ranjang Ulung, baik ponselnya maupun ponsel Ulung yang tengah di-charge sama-sama bergetar tanda pesan masuk.
Yita tak mau mengganggu privasi Ulung, hanya meraih ponsel miliknya sendiri. Nama Latu dan Kinnaja muncul di bilah notifikasi. Yang pertama dibukanya adalah kolom percakapan dengan Kinn. Sebuah pesan yang cukup membuatnya mengerutkan kening dalam. "Ta, bisa bertemu nanti sore? Aku di Jogja sekarang, daerah Sleman. Jangan beritahu Latu, cukup datang sendiri ke alamat yang aku share nanti".
Meski tak tahu ada apa, tetapi Yita menyetujuinya.
Setelah mengirim balasan pada Kinn, ia beralih pada kolom percakapan dengan Latu. Perempuan itu cukup aneh, padahal mereka bisa langsung bertemu.
Kerutan di dahi Yita justru semakin dalam membaca pesan perempuan tersebut. "Ta, di kamar Ulung ada pajangan aneh, nggak? Kata Jenar ada di pojok kanan kamar, deket jendela".
Sontak Yita menyapukan pandangan ke arah yang disebut Latu. Memang ada bingkai foto di sana, ia bahkan baru sadar. Lelaki itu tak bergerak sedikit pun, hanya menyipitkan mata agar bisa melihat apa yang ada dalam pigura ber-background daun pisang kering itu, cukup aneh memang. Kembali getar ponsel mengambil atensinya, Latu.
"Ada? Isinya beling, bukan?"
Setelah membaca pesan itu, Yita baru sadar bahwa yang ada di dalam pigura itu memang beling, cukup samar mengingat warnanya transparan.
Satu lagi pesan masuk. "Ada noda darahnya".
Lagi-lagi Latu benar. Yita dapat melihatnya.
"Kata Jenar, menurut rumor sih, itu sisa percobaan suicide-nya Sarira."
Mata Yita melotot lebar, menggenggam kuat ponsel di tangan. Masih dengan keterkejutan, lelaki itu kembali dialihkan oleh ponsel Ulung yang bergetar, kali ini ia sengaja fokus pada layar yang menyala, menampilkan sebuah pop up pesan. Jelas Yita dapat membaca siapa pengirim dan apa isinya.
Ranya Sarira
|Boleh aku membayar hutangku di akhirat aja?
|Aku pengen nyusul Ibuk.Dayita ... bungkam. Apa-apaan ini?
Pintu menjeplak terbuka dan menampilkan Ulung dengan tampang lesunya. Yita masih memandang lelaki itu dengan tercekat, separuh bingung bagaimana memberitahu apa yang baru saja didapatinya.
Melihat tampang bingung Yita, akhirnya Ulung bertanya, "Kenapa, Ta?"
Bukannya menjawab, Yita justru melirik ponsel Ulung di atas nakas, memberitahukan lewat tatapan mata.
![](https://img.wattpad.com/cover/325659467-288-k132558.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ehipassiko
General FictionApa yang bisa dikukuhkan lewat pemahaman dogmatis? Tak ada, setidaknya begitu menurut Latu. Perempuan berjiwa bebas itu tak menemukan urgensi dari beragama--atau mungkin belum. Menjadi mahasiswi Sastra Jawa barangkali menjadi salah satu jalan baginy...