Dalam balutan kaos putih dilapisi jaket kulit hitam serta celana jeans berwarna senada, Latu sudah siap. Ia hanya perlu menunggu diantar Maruta ke stasiun sebentar lagi.
Menunggu sambil bermain ponsel di kursi teras, sesekali Latu menggoyangkan kaki, memainkan ransel yang berada di samping kakinya. Diikutinya alunan musik yang terdengar, Latu ikut bergumam, menyenandungkan lagu yang diputar. Sebuah lagu milik Payung Teduh mengalun dari ponselnya.
Lima menit kemudian, Maruta keluar. "Siap?" tanyanya pada sang putri.
Latu bangkit, mematikan musik dari ponselnya. "Siap, yuk! Nanti Latu ketinggalan kereta." Ia lantas mendekati pintu, berteriak di sana, "Mama, Ayah sama Latu mau berangkat."
Aeera keluar rumah serampangan, di hidung wanita itu, masih bertengger kacamata baca miliknya.
"Mau langsung berangkat? Yakin nggak mau sarapan dulu, Tu?" tanya Aeera.
"Nggak, Ma. Kan Mama udah buatin bekal juga, nanti aku makan di kereta. Lagian nggak jauh-jauh amat Jakarta--Cirebon."
Sedang Aeera mengangguk, Maruta kembali ke dalam, mengambil sesuatu di atas meja tamu untuk diserahkan pada Latu. "Titip untuk Dayita," ujarnya begitu kembali sembari mengulurkan sebuah notebook.
Perempuan itu meraihnya dengan dahi berkerut. Dibukanya halaman per halaman, tetapi ia tak menemukan apa pun, semuanya kosong. "Ini ... untuk apa, Yah? Buat apa Yita butuh buku kosong?"
"Berikan saja pada Yita, dia akan tahu."
-o0o-
Di pelataran rumah minimalis yang sisi kirinya terdapat bangunan memanjang dengan kamar-kamar petak, Latu memperhatikan sekeliling lekat. Masih ada material bangunan di sudut halaman, juga beberapa karung semen di teras salah satu kamar. Jelas pembangunan itu belum selesai. Terlebih terdapat pagar setengah jadi.
"Itu kos-kosan?" Jari Latu spontan menunjuk jajaran kamar tersebut. Sadar tak akan mendapati jawaban apa pun jika hanya berdiam di sana, Latu melangkahkan kaki mendekati bangunan yang tampak seperti rumah utama.
Namun, langkah perempuan itu terhenti sebab suara deru motor yang mendekat. Dibaliknya badan dan mendapati Yita di sana, tengah menstandarkan motor. Ada anak kecil pula bersama lelaki itu, tetapi Latu tak ambil pusing. Sepertinya Yita belum menyadari keberadaannya.
"Kamu ke dalam dulu, ya?" ucap Yita pada anak itu, Latu mendengarnya jelas.
Saat anak itu berlari melewati Latu, pandangan Yita juga ikut bersibobok dengan perempuan itu. Sedikit berjengit mendapati siapa yang berdiri dengan senyum lebar juga ransel di punggung.
"Latu?" Begitu gerak bibir Yita yang dapat ditangkap Latu.
Lelaki itu mendekat, masih dengan tampang setengah terkejut. "Kamu? Since when have you been here?"
Latu mengangkat dua tangan, merentangkannya. "Tara ... not so long ago."
Yita mengembuskan napas panjang. "Aku sudah bilang akan menjemput, Latu."
"Dan kamu pikir aku bakal biarin kamu bolak-balik Jakarta--Cirebon cuma buat itu? No! Untungnya Om Laith mau kasih alamat rumah kamu."
"Kamu nekat," cibir Yita, tetapi tak urung terkekeh juga. Perempuan ini cukup berani. Ia lantas mengulurkan tangan. "Ransel kamu, biar aku bantu."
"It's ok, ini nggak berat. Aku bisa bawa sendiri." Baiklah jika Latu berkata demikian.
"Kalau begitu, ayo masuk." Bukannya mengajak Latu memasuki pintu rumah utama, Yita justru melewati sela kecil bangunan, disusul perempuan itu. Di luar dugaan Latu, terdapat halaman yang cukup luas di tengah-tengah, dikelilingi bangunan serupa. Beberapa orang juga mulai terlihat, anak-anak kecil berlarian ke sana kemari. Yang membuat Latu mengernyit adalah, semua orang dewasa yang ia lihat adalah perempuan, yang sejujurnya menurut Latu terhitung masih muda.
Sibuk mengamati sekeliling dengan cermat, Latu tak sadar Yita sudah menghampiri seseorang yang baru keluar dari pintu belakang rumah utama. Perempuan dengan jilbab lebar dan menenteng keranjang buah di tangan kanan.
Yita mencium punggung tangan perempuan itu penuh takzim sebelum mendapat tepukan pelan di bahu.
Sadar Yita tak ada di sisinya, Latu menyapukan pandangan. Saat berbalik badan, ia menemukan lelaki itu tersenyum ke arahnya, juga wanita yang tersenyum tak kalah lebar. Segera Latu menyusul.
"She's my mom," ujar Yita, membuat Latu langsung membulatkan mata dan menyalaminya. "Guess who yang datang tiba-tiba, Mama?
"Ini ... Latu?" Senyum belum pudar dari bibir Zaa, tangan perempuan itu bahkan mengelus surai Latu lembut.
Yita mengangguk. "Tiba-tiba dia sudah sampai di depan rumah, padahal aku sudah janji menjemputnya besok."
"Maaf karena nggak bilang-bilang, Tante. Aku nggak tega kalau Yita harus ke Jakarta lagi cuma buat jemput aku." Mata Latu menyipit, ikut menarik ujung bibirnya tinggi. Sekejap, senyum itu berganti ringisan canggung. Meski begitu, ia membalas tanpa ragu, "Pantesan Yita ganteng, ternyata mamanya cantik banget."
Mau tak mau Zaa terkekeh, gadis ini sangat blak-blakan. Sementara, Yita hanya meringis.
"Allahummaj'alni khairan mimma yaquuluna waghfirli ma la ya'lamun, wa la tu'akhidzina bi ma yaquulun," gumam Zaa tanpa sadar, terdengar sampai ke telinga Latu.
Gadis itu menautkan alis, sedikit memiringkan kepala. "Tante, itu doa apa dan apa artinya?"
"Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka ucapkan, dan ampunilah diriku atas dosa yang tidak mereka ketahui dan jangan Engkau adzab diriku atas apa yang tidak mereka ketahui. Itu doa jika mendapat pujian, Latu. Sekecil apa pun pujian yang kita dapat, jangan sampai malah mengundang keangkuhan. Bukankah begitu?"
Perlahan, Latu mengerjap, mengangguk seraya tersenyum. "Tuh, Ta. Kamu juga tadi aku puji ganteng, loh. Kok diem aja? Eh, iya, kamu kan nggak mendefinisikan diri sebagai Is--"
Sontak Latu melihat ke arah Zaa, menyadari bahwa ia telah salah bicara dan kemungkinan membuat lelaki itu dalam masalah.
Sadar arti ekspresi Latu, Zaa tertawa kecil. "Tidak perlu merasa bersalah mengatakannya, Latu. Saya tahu betul bagaimana Yita dan saya nggak mempermasalahkan itu."
Kini, giliran Yita yang memiringkan kepala, menatap Latu dengan senyum smirk. Gadis itu sukses dibuat melongo.
"My Mom really loves diversity, Latu."
Baiklah, Latu akui ia kehabisan kata kali ini.
"Oh iya, Latu." Suara Zaa kembali mengambil atensi gadis itu. "Panggil saya sebagaimana Yita memanggil saya saja."
Latu tak sempat protes atau bertanya.
"Ta, ajak Latu masuk dulu, dia pasti capek. Mama mau ke mereka sebentar." Zaa pergi setelah sekali lagi mengelus surai Latu, menghampiri sekumpulan anak kecil yang tengah bermain menyusun batu di sudut dan memberi mereka apel satu per satu.
Tatapan bingung langsung dilayangkan Latu pada Yita yang kini berdiri tepat di sampingnya. "Jadi, kalau bukan kos-kosan, ini tempat apa?"
"Mau masuk dulu? Kebetulan Ayah ada di rumah. Masalah itu, nanti kujelaskan." Meski bertanya, Yita tetap pergi lebih dulu, meninggalkan Latu yang menggerutu di tempatnya. Senyum geli Yita tak bisa tak mengembang.
-o0o-
Maap, telat.
Amaranteya
30th of March 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Ehipassiko
General FictionApa yang bisa dikukuhkan lewat pemahaman dogmatis? Tak ada, setidaknya begitu menurut Latu. Perempuan berjiwa bebas itu tak menemukan urgensi dari beragama--atau mungkin belum. Menjadi mahasiswi Sastra Jawa barangkali menjadi salah satu jalan baginy...